Menristek : Sudah Saatnya Bali Melakukan Diversifikasi Ekonomi Agar Tak Hanya Andalkan Pariwisata

Maka dari itu, menurut Bambang Brodjonegoro, Bali harus berpikir agar masyarakatnya tidak terlalu terdampak terlalu dalam.

Penulis: I Wayan Sui Suadnyana | Editor: Eviera Paramita Sandi
Tribun Bali / Tangkap Layar
Menteri Riset dan Teknologi/Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional (Menristek/BRIN), Bambang Permadi Soemantri Brodjonegoro hadir dalam kegiatan Bakti Inovasi Universitas Udayana (Unud) di Gedung Wiswa Sabha, Kampus Unud Bukit Jimbaran, Badung, Rabu (23/12/2020) 

TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR - Menteri Riset dan Teknologi/Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional (Menristek/BRIN), Bambang Permadi Soemantri Brodjonegoro menilai, sudah saatnya Bali melakukan diversifikasi atau penganekaragaman ekonomi.

Menurutnya, upaya itu dilakukan agar masyarakat di Pulau Dewata tidak hanya mengandalkan sektor pariwisata.

"Sudah saatnya Bali melakukan diversifikasi ekonomi. Menurut saya itu sudah bukan lagi rekomendasi atau saran, itu sudah menjadi dalam tanda petik keharusan," kata Bambanh Brodjonegoro saat hadir dalam kegiatan Bakti Inovasi Universitas Udayana (Unud) di Gedung Wiswa Sabha, Kampus Unud Bukit Jimbaran, Badung, Rabu (23/12/2020).

Baca juga: Gubernur Koster Mengaku Tak Ada Niat Sedikit Pun Untuk Menyengsarakan Masyarakat Bali

Baca juga: Gubernur Koster Ungkap Alasan Kebijakan Swab PCR dan Rapid Test Antigen Bagi PPDN yang Masuk Bali

Menurut Bambang Brodjonegoro, ketergantungan Bali terhadap pariwisata yang tadinya diperkirakan bakal lebih stabil, ternyata kesulitan ketika menghadapi bencana seperti pandemi Coronavirus Disease 2019 (Covid-19).

Kondisi ini berbeda ketika Bali mengalami musibah lain gunung meletus dan adanya SARS yang  pada tahun 2000.

Baginya, keberadaan pariwisata Bali saat itu masih relatif baik, kunjungan wisatawan menurun tapi tidak terdampak terlalu besar.

"Bahkan ketika ada gangguan keamanan seperti Bom Bali I dan II itu, meskipun ada gangguan yang cukup serius, tapi hanya berlaku temporary, kemudian Bali bisa kembali seperti normal," jelasnya.

Namun ketika ada pandemi Covid-19 yang sampai saat ini belum selesai, pemulihan ekonomi Bali yang tergantung dari pariwisata menjadi lebih alot dan sulit.

"Nah tentunya bagaimana kita mencari solusi agar masyarakat tisa terdampak," kata Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (UI) itu.

Menurutnya, jika misalnya banyak hotel di Bali yang tidak beroperasi saat pandemi Covid-19, pemiliknya yang kebanyakan orang Jakarta tidak akan terlalu terdampak dan masih tetap akan kaya.

Namun pekerja yang menggantungkan hidupnya di hotel tersebut yang kebanyakan orang Bali akan sangat terdampak.

Maka dari itu, menurut Bambang Brodjonegoro, Bali harus berpikir agar masyarakatnya tidak terlalu terdampak terlalu dalam.

"Nah disitulah diversifikasi (ekonomi) menjadi penting. Dan kemarin saya identifikasi secara kilat apa kira-kira menjadi keunggulan Bali dan menjadi fokus riset dari Universitas Udayana," terangnya.

Kembangkan Tiga Sektor

Menurut Bambang Brodjonegoro, ada tiga hal yang bisa mendiversifikasi perekonomian Bali.

Pertama, yakni pertanian yang berbasis komoditas.

Upaya ini dapat dilakukan dengan membudidayakan tanaman tertentu dan setelah menghasilkan langsung dijual.

Salah satu komoditas pertanian yang bisa dikembangkan seperti ini yakni buah salak.

"Salak Bali kan sudah treadmark, sudah terkenal, tapi kan tetap riset di bidang salak itu tetap penting. Karena dari riset mengenai benih maka lahirlah produk yang lebih bermutu," terangnya.

Oleh karena itu, dirinya meminta Unud agar bisa melakukan riset dan menjadikan salak berbeda dengan yang ada daerah lain.

"Saya yakin teman-teman di Fakultas Pertanian bisa lakukan untuk membuat salak Bali itu menjadi berbeda, tidak harus menghilangkan bijinya, tapi paling tidak salaknya itu lebih enak, mungkin tidak terlalu ada asemnya," pinta dia.

Selain melalui pertanian berbasis komoditas, diversifikasi ekonomi Bali bisa dilakukan melalui olahan hasil pertanian.

Menurut Bambang Brodjonegoro, diversifikasi olahan hasil pertanian sangat menarik karena bisa menjadi makanan olahan dan obat herbal.

"Bapak ibu boleh saya sampaikan, yang kedua ini (obat herbal) sebenarnya sangat menjanjikan. Karena secara ekonomi sektor manufaktur kita, sektor manufaktur Indonesia yang paling maju itu adalah industri pengolahan bahan makanan," tuturnya.

Selain itu, sampai saat ini bahan baku obat di Indonesia berupa bahan kimia masih impor dari negara lain.

Oleh karena itu, Bambang Brodjonegoro berharap bahan baku obat di Indonesia yang awalnya dari kimia bisa menggunakan bahan-bahan herbal.

Namun dirinya mengaku paham bahwa riset untuk bahan-bahan herbal membutuhkan waktu yang sangat lama dikarenakan harus dimulai dari proses ekstraksi terlebih dahulu.

Setelah itu masih perlu melakukan analisa, biofarmatika dan harus uji klinis sebanyak dua kali, yakni untuk keamanannya dan untuk afikasi. Memang panjang, tetapi itu harus dilakukan. Dan karena panjang, harus dilakukan dari sekarang. Kalau tidak kita akan selamanya bergantung pada impor," kata dia.

Oleh karena itu, dirinya mendorong agar Unud dapat memanfaatkan keanekaragaman hayati di Bali sehingga bisa menjadi bahan baku obat.

Bahan baku ini bisa dalam bentuk jamu, minuman sehat, obat herbal terstandar (OHT) dan bisa dalam bentuk fitofarmaka.

Bambang Brodjonegoro menyarankan hal ini dikarenakan dirinya mengaku sangat mendukung keberadaan obat modern asli Indonesia (OMAI).

"Karena kami di Ristek ini sangat mendukung yang namanya OMAI. Saya melihat di sinilah substitusi impor dengan inovasi. Dan inovasinya ini sangat cocok dengan semangat inovasi yang ada di Indonesia. Karena bahan yang digunakan berasal dari keanekaragaman hayati," paparnya.

"Kan sayang kalau tanaman atau tumbuhan kumis kucing, jahe merah, sambiloto, meniran dan segala macam itu, daun kelor dan seterusnya, itu hanya menjadi pengetahuan," imbuh pria yang juga sempat menjabat Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN) itu.

Kemudian diversifikasi ketiga yang bisa dilakukan Bali untuk perekonomian masyarakat bisa melalui industri kreatif.

Baginya, industri kreatif sebagai local wisdom di Bali yang sama sekali tidak boleh hilang.

Akan tetapi industri kreatif ini harus  dibawa dengan konteks 4.0.

"Artinya digitalisasi menjadi kewajiban," terang pria yang sudah enam tahun berada di birokrasi itu.

Selain itu, ketika mengembangkan industri kreatif, pemikiran yang harus dipegang yakni pada inovasinya, terutama desain dan development produknya.

"Jangan pernah kita puas hanya menjadi yang memproduksinya. Kalau bisa industri kreatif di Bali itu naik kelas. Jadi tidak cukup hanya menjadi sekadar manufacturing, tetapi sudah mengarah pada branding. Brand-nya yang harus kuat," pintanya.

Menurutnya, agar suatu brand kuat maka membutuhkan riset dan development.

Ini membuktikan bahwa riset bisa dikaitkan dengan ekonomi kreatif.

Terlebih saat ini, riset yang sudah berkembang untuk pengembangan produk sudah berbasis digital.

Oleh karena itu, Bambamg Brodjonegoro berharap Unud bisa membawa usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) di Bali untuk lebih digitalize.

Menurutnya, dalam pengembangan UMKM ada dua teknologi yang harus didukung dengan riset, yakni teknologi digital untuk akses pasar dan teknologi dalam produksi produk dengan mesin dan peralatan.

"Nah disinilah Universitas Udayana akan melahirkan inovasi yang relevan untuk kebutuhan masyarakat," paparnya.

Melalui upaya yang dilakukan oleh Unud, Menristek/BRIN berharap kesejahteraan masyarakat Bali bisa berkelanjutan dan tidak berfluktuatif karena naik-turunya kegiatan pariwisata.

"Bagaimana pun kestabilan ekonomi dalam pembangunan itu sangat penting. Jangan biarkan Bali bergantung terlalu tinggi pada pariwisata. Perlu ada bantalan yang bisa menjaga paling tidak supaya masyarakat tetap bisa mendapatkan mata pencaharian. Dan itu adalah tiga yang tadi saya katakan," tegasnya. (*)

Sumber: Tribun Bali
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved