Serba Serbi
Tolak Cetik dan Bala, Tumbuhan Uli Dipercaya Miliki Khasiat Khusus
Dalam buku Usadha Cetik, terbitan Yayasan Dharma Pura, dijelaskan cetik adalah sebutan racun yang mematikan hasil racikan manusia
Penulis: AA Seri Kusniarti | Editor: Putu Dewi Adi Damayanthi
Laporan Wartawan Tribun Bali, A A Seri Kusniarti
TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR – Hingga saat ini eksistensi kepercayaan akan ilmu hitam masih ada.
Khususnya di Bali yang memang memegang teguh, adat budaya dan istiadat warisan leluhur.
Satu diantaranya adalah cetik, yang sampai era modern saat ini masih dipercayai ada di tengah-tengah masyarakat Bali.
Dalam buku Usadha Cetik, terbitan Yayasan Dharma Pura, dijelaskan cetik adalah sebutan racun yang mematikan hasil racikan manusia untuk keperluan perbuatan jahat.
Baca juga: Ningsih Tinampi Kisahkan Asal Usul Ilmu yang Dimilikinya Hingga Pekerjaan yang Pernah Digelutinya
Baca juga: WIKI BALI - Sejarah Asal Usul Desa Sidakarya Denpasar
Baca juga: Babad Wongayah Dalem, Bantu Telusuri Sejarah Pura Maospahit
Ada cetik kasar yang bisa berakibat fatal.
Ada pula cetik halus, yang akibatnya ditimbulkan perlahan-lahan dan membuat si penderita sengsara.
Semisal muntah darah hitam dan kental atau muntah darah dengan nanah.
Banyak hal yang bisa dilakukan untuk menolak cetik ini, satu diantaranya adalah dengan tumbuhan uli.
Dijelaskan I Ketut Siladharma, kolektor uli di Denpasar.
Uli memang dipercaya sebagai penolak bala, hingga penolak dan penawar cetik.
“Uli ini tumbuhan laut, yang berada di laut dalam. Dan biasanya didapatkan dengan menyelam atau tidak sengaja tersangkut jaring ikan,” jelasnya kepada Tribun Bali, Minggu (27/12/2020) di Denpasar.
Uli yang sulit didapatkan, akhirnya memiliki nilai tawar dan harga yang mahal pula.
“Semakin besar batangnya, semakin mahal pula uli itu,” sebutnya.
Sebab uli yang didapatkan di laut dalam, kerap tidak terlalu besar.
Layaknya berlian, uli juga jika semakin besar harganya akan semakin mahal.
Bahkan ada yang panjangnya 60 cm bisa berharga hingga Rp. 30 juta di pasaran.
“Dahulu ada nelayan yang bawa, mereka dapatkan dari perairan di New Zealand. Jadi uli itu tersangkut di jaring ketika mereka mencari ikan di laut dalam,” jelasnya.
Uli juga sangat langka, semakin ke sini semakin sulit ditemukan.
Batang uli ini biasanya dipakai menjadi permata di cincin.
Atau liontin dan aneka perhiasan lainnya.
“Biasanya pemangku memakai cincin uli, sebagai sarana upakara dan menetralisir energi negatif,” jelasnya.
Uli dipercaya sebagai penolak bala atau racun, sehingga banyak yang berminat memilikinya.
Bahkan ada sebuah konten di media sosial, kata dia, memperlihatkan sebuah ember berisi ikan lalu diberi portas dan diletakkan Uli Gadang (hijau) di dalam airnya.
Tetapi ikannya tidak mati sama sekali.
Siladharma mengatakan, uli gadang memang memiliki kekuatan yang lebih dibandingkan uli jenis lainnya.
Para penekun spiritual pasti tahu akan hal ini.
Uli Gadang atau yang berwarna hijau, kata dia, lebih banyak ditemukan di perairan New Zealand.
Sedangkan di perairan Nusa Penida, kebanyakan uli ditemukan berwarna lebih cokelat.
“Uli Gadang ini lah yang tempatnya paling dalam, dan paling sulit dicari,” katanya.
Lanjutnya, memang dalam kepercayaan masyarakat Hindu di Bali laut beserta isinya memiliki manfaat pengobatan sekala-niskala.
Belakangan pun pemburuan uli dibatasi, karena untuk menjaga ekosistem dan biota laut termasuk terumbu karang tetap asri dan lestari.
Pria yang juga kolektor berbagai cincin ini, menyebutkan uli sangat booming tahun 1997.
Namun saat ini mulai langka, apalagi dengan adanya pembatasan untuk menjaga ekosistem laut tetap terjaga.
Kisah unik datang dari pengguna uli, ada yang menggunakan uli sebagai sarana upakara dan pengobatan.
Ada pula untuk melindungi diri dari hal-hal negatif.
“Ada yang jualan di pasar Beringkit, dia menunjukkan dengan rokok yang diolesi uli rasanya hambar. Kemudian uli ditaruh di arak ada yang alkoholnya hilang,” jelasnya.
Sehingga secara niskala, banyak yang mencari uli untuk menolak hal negatif.
Tumbuhan uli layaknya pohon cemara, batangnya berwarna hijau dan berisi ranting kecil berwarna kekuningan namun tubuhnya pendek.
Batang uli biasanya digunakan menjadi permata sebuah cincin, dan cincin inilah yang banyak digunakan oleh pemangku, pejabat, dan lain sebagainya.
Batangnya dijual per sentimeter, dan harganya sesuai ukuran.
“Ada yang panjangnya sama dengan sebatang rokok, dijual sampai Rp. 15 juta. Itupun harga Corona, kalau harga pasaran normal bisa Rp. 25 juta,” sebutnya.
Sementara, jika uli telah menjadi cincin, maka harganya tergantung ukuran di cincin itu.
“Kalau ikatan cincinnya dari koin harganya paling Rp. 500 ribuan. Tetapi kalau ikatannya dari perak, harganya bisa jutaan,” sebutnya.
Siladharma menjelaskan, untuk uli New Zaeland ada yang berbentuk tali arus dan cemara.
“Kalau tali arus khasiat kekuatannya kurang, berbeda dengan yang cemara itu lebih kuat karena lebih susah juga dicari,” imbuhnya.
Ia mengatakan, pejabat kebanyakan membeli liontin uli dengan harga Rp. 5 jutaan ke atas.
Uli disukai berbagai kalangan, karena tidak ribet dibawa ke sana-sini.
Tidak perlu dilepaskan saat masuk ke toilet, dan memang memiliki kekuatan alam tersendiri.
Siladharma awalnya suka mengoleksi, sejak tahun 2000 an ia mulai mencari uli di pasaran.
Namun memang sangat sulit mendapatkannya.
Uli pun dipercaya sebagai penawar cetik, karena cetik adalah racun dan bisa dinetralisir oleh uli.
Ia menjelaskan, batang uli bisa juga ditaruh ke dalam air dan diminum untuk pengobatan.
“Hanya saja sekarang banyak pemalsuan, jadi harus hati-hati melihat uli di pasaran,” tegasnya.
Cara mengetes uli asli atau tidak, adalah dengan merendamnya di dalam air kelapa (nyuh gading) selama seharian.
Jika tidak ada perubahan, maka uli itu pasti asli.
Sementara jika palsu maka uli yang dicat atau disuntik tersebut akan meleleh dan hilang warnanya.
Pengalaman mistis dari rekannya yang membawa uli adalah ketika menonton calon arang.
Ia mengatakan uli tersebut ditaruh dikantong baju, dan dibawa ke area calon arang ditarikan.
Tiba-tiba saja pembawa acara mengatakan bahwa pembawa uli ini membuat para undangan leak tidak bisa masuk karena takut dengan uli.
Hal itulah kian menguatkan kepercayaan bahwa uli ini memang menolak bala.
Secara spesifik Siladharma menjelaskan, jenis uli ada beragam selain Uli Gadang.
Dari bentuk dan perbedaan warna uli, memiliki manfaat dan fungsinya masing-masing.
Jenis uli yang dikenal di masyarakat antara lain, Uli Waringin Sungsang, Uli Brahma, Uli Selem, Uli Gringsing dan Uli Gadang.
Uli Waringin Sungsng, kata dia, dipercaya baik dipakai sebagai pelindung dan penarik energi positif, sebagai sarana untuk membuat jimat penjaga rumah.
Uli Brahma, adalah uli dengan warna merah memiliki fungsi sebagai penentram batin, membawa aura wibawa, mengurangi rasa sakit rematik.
Uli Selem yang merupakan jenis uli yang paling banyak ditemukan, memiliki fungsi menstabilkan jiwa dan batin dalam perjalanan jauh termasuk penetral rematik.
Selanjutnya Uli Gringsing, dengan ciri berwarna putih beruas hitam dan mudah patah, baik ditempatkan di dalam rumah untuk menetralisasi energi negatif yang ada.
Bisa direndam di air panas dan airnya diminum untuk obat sakit perut.
Dari beragam jenis uli tersebut, Uli Gadang New Zealand memang memiliki khasiat dan kekuatan magis yang paling dasyat.
Lanjutnya, teman Siladharma yang mencari uli di Nusa Penida mengatakan bahwa uli di dalam laut kerap dijaga ikan hiu.
“Jadi ikan hiu itu berputar-putar di tumbuhan uli itu,” katanya.
Kisah lainnya, ia pernah melihat saat seseorang memakai Uli Gadang dan ia terkena serangan ilmu hitam.
Membuat Uli Gadangnya terbakar saat dipakai. (*).