Apa Kabar Pembangunan Bandara Bali Utara? Bupati Buleleng: Tidak Akan Dibangun di Desa Kubutambahan
Bupati Buleleng, Putu Agus Suradnyana (PAS) menegaskan, Bandara tidak akan dibangun di Desa Kubutambahan atau di atas lahan duwe pura.
Penulis: Ratu Ayu Astri Desiani | Editor: Widyartha Suryawan
TRIBUN-BALI.COM, SINGARAJA - Bupati Buleleng, Putu Agus Suradnyana (PAS) menegaskan, Bandara tidak akan dibangun di Desa Kubutambahan.
Pembangunan Bandara tidak akan dilakukan di atas lahan duwe pura Desa Adat Kubutambahan.
Sebab, lahan tersebut hingga saat ini statusnya masih dikontrakan desa adat kepada sebuah PT hingga terbit Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB).
Masalahnya, SHGB tersebut saat ini dijaminkan di bank, senilai Rp 1,4 miliar.
"Saya pastikan tidak mungkin di Kubutambahan. Omongan saya ini bisa dipertanggungjawabkan. SHGB-nya sedang dijaminkan di bank. Dan 64 hektare di antara lahan itu, saat ini sedang diproses oleh kurator untuk dilelang, karena perusahaan (pengontrak) dinyatakan pailit.
Jadi seperti itu kondisinya," papar Agus Suradnyana dalam diskusi akhir tahun yang digelar Komunitas Jurnalis Buleleng (KJB) dengan tema “Bandara Buleleng Kebarat-Kebirit” di Angkringan Gempol, Selasa (28/12/2020).

Suradnyana menyebut, sejatinya ada cara agar perkara lahan ini bisa segera diselesaikan.
Pihak desa adat bisa menuntut perusahaan pengontrak karena wanprestasi, alias menyewa lahan namun tidak melakukan kegiatan apapun di lahan tersebut.
Suradnyana menyerahkan sepenuhnya kepada pihak desa adat untuk kesediannya melakukan tuntutan apabila ingin aset milik desa adat bisa kembali.
Baca juga: Apa Kabar Pembangunan Bandara Bali Utara? Masih Terkendala Lokasi, Berikut Perkembangannya
"Kalau dituntut, selesai urusannya. Tanah kembali jadi milik pura. Saya dan gubernur sebagai kepala daerah sudah berapa kali menyampaikan siap membantu sampai menyediakan pengacaranya. Karena desa adat bagian dari daerah, harus kita dukung.
Intinya agar aset bisa kembali ke desa adat dulu, jangan bicara Bandara dulu. Yang saya tahu, tidak mungkin Bandara ini dibangun di Kubutambahan karena masalah hukum," ucap Suradnyana.
Kelian Adat Kubutambahan, Jero Pasek Warkadea yang turut hadir dalam diskusi mengatakan, pihaknya tidak menolak jika Bandara dibangun di wilayah Kubutambahan.
Sementara terkait SHGBU yang telah dijaminkan, kata Warkadea, menjadi urusan pihak PT pengontrak.
Baca juga: Pembangunan Bandara Bali Utara di Sumberklampok Masih Dalam Kajian
"Kan SHGBU yang disita, bukan SHM-nya. Sementara di lahan itu kan tidak ada bangunan, jadi apa yang mau disita.
Yang ada di sana hanya kadang sapi. Artinya kita di desa adat sebenarnya tidak ada yang dirugikan. Cuma SHGBU itu akan disita 30 tahun," katanya.
Terkait solusi yang ditawarkan bupati untuk menuntut PT pengontrak, Warkadea mengaku akan melakukan konfirmasi ke BPN dulu.
Mengingat BPN yang memiliki kewenangan untuk menegaskan, bahwa lahan itu benar ditelantarkan atau tidak.
Menurutnya, PT pengontrak sempat menyampaikan tidak bisa melakukan pembangunan karena terbentur Perda RTRW.
"Alasan PT, lahan itu sudah diblok oleh Perda RTRW. Jadi saat hendak mengajukan IMB untuk membangun hotel di lahan itu, ditolak karena sudah diblok. Berdasarkan Perda RTRW disebutkan bahwa lahan itu untuk Bandara. Jadi itu lah alasan kenapa tidak ada aktivitas di lahan itu," jelasnya.
Izinkan Perpanjang Kontrak
Kendati tidak ada aktivitas pembangbunan di lahan tersebut, Warkadea tidak menampik, pihaknya tetap mengizinkan PT pengontrak untuk memperpanjang masa kontrak.
Sebab desa adat, ungkap pria yang juga sebagai Staf Ahli Bupati Buleleng ini, membutuhkan dana untuk setiap kegiatan adat.
"Kami di desa adat kan tidak pernah menarik urunan ke krama jika menggelar upacara keagamaan, atau pembangunan. Jadi yang dipakai ya dari hasil kontrak lahan duwe pura itu.
Dari awal PT alasannya mencari konsorsium untuk membangun, jadi kami berikan (memperpanjang kontrak) karena bagaimana juga kami membutuhkan dananya untuk desa adat," tegasnya. (*)