RENUNGAN Siwaratri: Malam Paling Gelap hingga Refleksi Kisah Lubdaka Sang Pemburu

RENUNGAN Siwaratri: Hari ini merupakan payogan Sang Hyang Siwa. Malam Paling Gelap hingga Refleksi Kisah Lubdaka Sang Pemburu.

Penulis: AA Seri Kusniarti | Editor: Widyartha Suryawan
Tribun Bali/Rizal Fanany
Ilustrasi umat Hindu sembahyang - RENUNGAN Siwaratri: Malam Paling Gelap hingga Refleksi Kisah Lubdaka Sang Pemburu 

"Sebab seiring perjalanan waktu, manusia kerap lupa diri, lupa pada kehidupan masyarakat, lupa Tuhan, lupa pada keluarga, dan lupa pada hal yang berhubungan dengan etika, sopan-santun serta lupa dengan keharmonisan hidup,” tegasnya.

Jagra, katanya, adalah menyadarkan manusia bahwa ia adalah mahluk Tuhan paling sempurna.

Dibekali pikiran dan hati nurani, untuk saling menjaga dan mencintai sesama mahluk hidup.

“Sebab hanya manusia yang dapat menolong dirinya sendiri. Tidak egois dan merasa diri sendiri paling benar,” ujar Ida Rsi.

Ia mengingatkan agar umat Hindu sembahyang memohon ampun kepada Tuhan dalam perwujudan Dewa Siwa ketika Siwaratri ini.

“Jangan jagra tapi main ceki (judi), minum arak (miras), dan perbuatan tidak terpuji lainnya,” tegasnya.

Makna Bersayap
Adapun Ida Pandita Mpu Jaya Acharya Nanda dalam sebuah artikel yang pernah diterbitkan Tribun Bali pada Senin (15/1/2018) menyebut kisah Lubdaka sebenarnya merupakan cerita dengan makna ‘bersayap’.

Pemburu yang dimaksudkan di sini bukanlah pemburu dalam arti sebenarnya, tetapi yang dimaksudkan adalah pemburu Tuhan sejati.

Kata sato (binatang) dalam cerita itu merupakan makna dari kebenaran. Itulah sebenarnya yang terjadi.

Jadi Siwaratri bukanlah sekadar bergadang semalam suntuk. Bukan karena sudah bergadang sampai pagi, berarti saya sudah melakukan Siwaratri.

Walaupun dalam teks dikatakan, ‘Lubdaka pun tanpa sengaja begadang pada malam hari itu,’ itu harus dipahami sebagai sebuah tindakan tanpa pamrih.

Bentuk persembahan pada Siwa, (Lubdaka) naik pohon lalu memetiknya satu persatu, itu merupakan cerminan bahwa dia (Lubdaka) berusaha untuk meningkatkan kualitas kesadaran budhinya menuju tingkat manah lalu ahamkara.

Sebab ketika budhi ini menguasai manah, kemudian manah menguasai indria (ahamkara), itulah kehidupan yang diinginkan.

Sebab, tanpa itu semua, berarti kita gagal melaksanakan misi penebusan dosa, karena tidak ada instrumen yang dipakai untuk mencapai moksa. (*)

Sumber: Tribun Bali
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved