Berita Buleleng
Terkait Kasus Dugaan Mark-up Dana Hibah Pariwisata 8 Pejabat Dispar, Ini Kata Ketua DPRD Buleleng
Ketua DPRD Buleleng, Gede Supriatna mengaku sangat prihatin atas terjadinya kasus mark-up dana hibah pariwisata, yang dilakukan oleh delapan pejabat
Penulis: Ratu Ayu Astri Desiani | Editor: Wema Satya Dinata
TRIBUN-BALI.COM, SINGARAJA - Ketua DPRD Buleleng, Gede Supriatna mengaku sangat prihatin atas terjadinya kasus mark-up dana hibah pariwisata, yang dilakukan oleh delapan pejabat di Dinas Pariwisata Buleleng.
Pasalnya dana tersebut diberikan oleh pusat untuk meningkatkan perekonomian masyarakat yang terdampak Covid-19.
Politisi asal Kecamatan Tejakula ini menyebut, Pemprov Bali sejatinya sangat berjuang agar Bali diberikan dana hibah pariwisata oleh Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif.
Mengingat perekonomian di Bali yang sebagian besar ditunjang dari sektor pariwisata, anjlok akibat wabah Covid-19.
Baca juga: Fakta-fakta Kasus Mark Up Dana Hibah Pariwisata di Bali, 8 Pejabat Dispar Buleleng Jadi Tersangka
Naasnya, setelah dana hibah pariwisata itu diberikan, dimana Buleleng mendapatkan jatah sebesar Rp 13 Miliar, ada delapan pejabat di Dispar yang menyalahgunakannya untuk kepentingan pribadi.
"Hal-hal seperti ini sangat disayangkan sekali. Presiden padahal sudah mengingatkan agar dana pemulihan ekonomi dampak pandemi Covid ini jangan digigit," ucapnya.
Imbuh Supriatna, kejadian ini menjadi raport merah bagi Bali khususnya Buleleng, yang kemudian dikhawatirkan akan menimbulkan ketidakpercayaan pusat dalam menggelontorkan dana hibahnya ke Bali.
"Ini akan mempengaruhi Pemkab atau Pemprov saat mengajukan tambahan stimulus pariwisata di Bali.
Kedepan, perlu adanya kesadaran aparat pemerintah khususnya yang menjalankan program penanganan Covid, agar dananya jangan digigit," jelasnya.
Sementara disinggung terkait pelaksanaan program Explore Buleleng, Supriatna juga mengaku tidak diberitahu oleh Dispar Buleleng.
Ia pun memaklumi hal tersebut karena dananya turun langsung dari pusat, sehingga tidak ada pembahasan di APBD.
"Saya tahu program Explore Buleleng ini dari media. Dari Dispar tidak melaporkan, karena program ini kan dananya dari pusat, jadi tidak masuk dalam pembahasan APBD.
Kedepan, masing-masing komisi di DPRD Buleleng saya minta untuk ikut mengawasi dana hibah penanganan covid ini," tutupnya.
Terpisah, Humas sekaligus Kasi Interl Kejaksaan Negeri Buleleng AA Jayalantara mengatakan, pada Senin 15 Februari 2021, pihaknya berencana akan memeriksa sebanyak 20 orang saksi, untuk memperkuat dugaan kedelapan pejabat tersebut melakukan mark-up dana hibah pariwisata.
Baca juga: 8 Pejabat Dispar Buleleng Jadi Tersangka Korupsi Dana Hibah, Menparekraf Sandiaga: Kita Prihatin
Dimana, 20 saksi yang diperiksa itu merupakan pihak rekanan yang terlibat dalam program Explore Buleleng dan Bimtek.
"Arah keterangan saksi nanti akan lebih menjurus ke delapan tersangka itu. Berkas tersangka ini soalnya pisah-pisah, karena perannya berbeda-beda.
Ada yang mark-up di Explore Buleleng, ada juga yang melalukan mark-up di Bimtek.
Kami memang harus lebih ekstra bekerja. Selasa besok delapan tersangka juga akan kami periksa lagi," tutupnya.
Menparekraf Prihatin
Seperti diberitakan, Kejaksaan Negeri (Kejari) Buleleng menetapkan 8 pejabat di Dinas Pariwisata (Dispar) Buleleng sebagai tersangka kasus dugaan mark-up biaya hotel dalam program Explore Buleleng, Kamis 11 Februari 2021.
Menanggapi delapan pejabat Dispar Buleleng yang ditetapkan sebagai tersangka dugaan tindak pidana korupsi dana hibah pariwisata tersebut, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Salahuddin Uno menyampaikan program yang menggunakan dana hibah pariwisata harus dilakukan dengan penuh tata kelola yang baik.
"Saya ingin menyampaikan kepada para pelayan publik, teman-teman saya di sektor pemerintahan maupun seluruh stakeholder. Mari kita junjung tinggi tata kelola yang baik dan kita pastikan bahwa program dana hibah pariwisata ini betul-betul dirasakan oleh saudara-saudara kita yang membutuhkan," ujar Menparekraf Sandiaga Uno, di sela meninjau Secret Garden Village, Tabanan, Jumat 12 Februari 2021.
Untuk pengawasannya program dana hibah pariwisata ini, Sandiaga akan melakukan kolaborasi mengajak KPK, BPK, BPKP.
"Semua harus kita pastikan jangan sampai ada misalokasi maupun potensi dari tindak pidana korupsi," tambahnya.
Disinggung apakah dia kecewa dengan adanya ASN yang menyelewengkan dana hibah pariwisata, Menteri Sandiaga Uno mengaku prihatin.
Baca juga: Soal Dugaan Mega Korupsi di Dispar Buleleng, Pemprov Tak Mau Komentar
"Kita prihatin, tapi kita harus berjuang terus karena pada akhirnya jutaan masyarakat di Bali ini mengharapkan pemerintah hadir untuk membantu mereka memberikan bantuan seperti salah satunya program dana hibah pariwisata, progam padat karya. Kita minta bahwa para pemangku kepentingan untuk menjunjung tinggi amanah yang diberikan kepada kita semua," jawabnya.
Sebelumnya, Kepala Kejaksaan Negeri Buleleng, I Putu Gede Astawa mengatakan delapan pejabat yang ditetapkan sebagai tersangka masing-masing berinisial Made SN, Nyoman AW, Putu S, Nyoman S, IGA MA, Kadek W, I Nyoman GG, dan Putu B.
Meski telah ditetapkan sebagai tersangka, delapan pejabat itu belum ditahan. Sebab pihak penyidik masih perlu melakukan pemeriksaan, yang rencananya akan dilakukan pada Selasa 15 Februari 2021.
Di sisi lain, berdasarkan hasil penyidikan umum dari kasus dugaan mark-up biaya hotel ini, kerugian uang negara yang ditimbulkan mencapai Rp 656 juta.
Dari jumlah tersebut, yang sudah dikembalikan kepada jaksa baru Rp 377 juta.
Sementara sisanya Rp 279 juta masih berada di pihak vendor.
Uang tersebut sudah disisihkan oleh pihak vendor, namun belum sempat diambil oleh para tersangka, karena kasus dugaan korupsi ini keburu mencuat.
Pemkab Buleleng hingga saat ini masih menunggu surat resmi dari Kejaksaan Negeri Buleleng, terkait penetapan tersangka terhadap delapan pejabat di Dinas Pariwisata Buleleng.
Sebab, surat tersebut akan digunakan sebagai dasar pihaknya untuk menonaktifkan sementara status kepegawaian para tersangka.
Sekda Buleleng, Gede Suyasa, Jumat 12 Februari 2021 mengatakan, berdasarkan PP 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil, selama belum ada keputusan inkracht, pihaknya akan menonaktifkan sementara status kepegawaian delapan pejabat tersebut.
Langkah ini juga akan dikonsultasikan ke KASN terlebih dahulu, khusus untuk tersangka eselon II.
Sementara untuk tersangka yang eselon III dan IV akan langsung diganti sementara waktu oleh pejabat lain sebagai pelaksana tugas (Plt).
"Kemarin Bupati sudah menyampaikan akan menonaktifkan sementara status kepegawaian delapan pejabat yang ditetapkan sebagai tersangka. Untuk menonaktifkan sementara, kami butuh surat resmi penetapan tersangka dari Kejari Buleleng. Surat itu akan kami jadikan sebagai dasar mengganti yang bersangkutan dengan pejabat yang lain, sampai ada keputusan inkracht," jelasnya.
Mengingat banyak pejabat di Dispar yang status kepegawaiannya akan dinonaktifkan sementara, Suyasa mengaku tidak menjadi persoalan.
Sebab dari segi jumlah, Pemkab masih memiliki cukup pejabat yang dapat menggantikan posisi ke delapan tersangka.
Terpisah, Humas juga sebagai Kasi Intel Kejari Buleleng, AA Jayalantara mengatakan, surat resmi penetapan tersangka itu rencananya akan dikirim ke Pemkab Buleleng, Senin (15/2/2021).
Sementara terkait pasal yang disangkakan kepada delapan tersangka, yakni Pasal 2, Pasal 3, dan Pasal 12e Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU 20/2001).
Untuk Pasal 2, ancaman hukuman pidana penjara minimal 4 tahun dan maksimal 20 tahun, denda paling sedikit Rp 200 juta rupiah dan paling banyak Rp 1 miliar.
Sementara Pasal 3, ancaman hukuman pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 20 tahun, dan atau denda paling sedikit Rp 50 juta rupiah dan maksimal Rp 1 miliar.
Kemudian Pasal 12 huruf e, ancaman hukuman pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun, serta pidana denda paling sedikit Rp 200 juta dan paling banyak Rp 1 miliar.(*)