Serba serbi

Waktunya Para Dewa Menyucikan Diri di Tengah Samudera, Berikut Kesakralan Tilem Kesanga

Dalam ‘Alih Aksara, Alih Bahasa, dan Kajian Lontar Sundarigama’ dijelaskan bahwa di antara semua Tilem, maka Tilem Kesanga diyakini paling sakral.

Tribun Bali
Ilustrasi laut - Waktunya Para Dewa Menyucikan Diri di Tengah Samudera, Berikut Kesakralan Tilem Kesanga 

TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR – Dalam ‘Alih Aksara, Alih Bahasa, dan Kajian Lontar Sundarigama’ dijelaskan bahwa di antara semua Tilem, maka Tilem Kesanga diyakini paling sakral.

Sebab saat Tilem Kesanga ini, diyakini sebagai waktu bagi para dewa menyucikan diri di tengah samudera.

Sembari mengambil intisari air suci kehidupan abadi yang disebut amerta kamandalu.

Tilem Kesanga jatuh pada Sabtu, 13 Maret 2021 pekan depan.

Baca juga: Jangan Sepelekan Brata Nyepi, Ini Maknanya Dalam Hindu Bali

Baca juga: Jelang Hari Raya Nyepi, Harga Barang Mulai Naik di Gianyar Bali

Baca juga: Rangkaian Hari Raya Nyepi di Bali, Peserta Dibatasi 50 Orang

“Dua hari sebelum Tilem Kesanga, atau disebut paroh gelap ketiga belas merupakan waktu untuk mengadakan upacara melasti,” jelas I Nyoman Suarka, Koordinator Tim Alih Aksara, Alih Bahasa, dan Kajian Lontar Sundarigama, Jumat 5 Maret 2021.

Upacara melasti dilakukan dengan mengusung pratima atau arca Sang Hyang Tiga Wisesa.

Atau arca yang berada di Pura Desa, Puseh, dan Dalem ke tepi pantai sambil membawa sesajen untuk persembahan kepada Bhatara Baruna.

“Tujuan dan makna melasti adalah menghanyutkan dan melebur segala penderitaan, kepapaan, kotoran, noda, dan bencana yang menimpa masyarakat,” sebutnya.

Baca juga: Hari Raya Nyepi 2021 Bertepatan Ibadah Umat Kristen, Perwakilan Gereja Meminta Arahan Kapolda Bali

Baca juga: Tertuang Dalam Lontar Sundarigama dan Buku Nagarakartagama, Berikut Makna Hari Raya Nyepi

Kemudian mengambil intisari air suci kehidupan atau tirta kamandalu, untuk keselamatan dan kesejahteraan umat manusia serta seluruh isi alam semesta.

Sementara itu, saat Tilem Kesanga umat Hindu diharapkan membuat upacara Bhuta Yadnya untuk ditempatkan di perempatan desa.

“Hal itu sejalan dengan keyakinan terhadap Tilem sebagai malam gelap penuh maut dan roh halus,” sebut guru besar Unud ini.

Sesajen yang patut dibuat saat Tilem Kesanga, mulai dari tingkatan nista berupa caru Panca Sata, tingkat madia berupa caru Panca Sanak.

Tingkat utama berupa Catur Agung, Yamaraja.

Upacara itu wajib dipimpin oleh seorang pendeta.

Sementara itu, setiap rumah umat wajib membuat caru berupa segehan mancawarna 9 tanding memakai lauk ayam brumbun dilengkapi dengan nira dan arak.

Berisi juga segehan nasi sasah 108 tanding, memakai lauk jajron (isi perut binatang korban) yang masih mentah.

Baca juga: Pantau Situasi Jelang Nyepi, Kapolda Bali Kunjungi Puri Ubud dan Puri Peliatan

Serta segehan agung satu tanding.

“Upacara caru itu, dilaksanakan di jalan keluar-masuk  perumahan ditujukan kepada Sang Bhutaraja, Sang Kalaraja,” sebutnya.

Pada senja harinya, dilakukan upacara tawur, dilanjutkan dengan ngerupuk dengan sarana api obor, kokorok, dan api prakpak yang disembur dengan mesui.

Serta diiringi doa-doa penolak bahaya dan mantra perlindungan diri.

“Para suami istri wajib natab byakala di halaman rumah dengan membuat sesajen, berupa sesayut byakala, sesayut lara, malaradan serta prayascita,” sebutnya. 

Lanjutnya, Tilem Kesanga dikatakan malam gelap yang sangat keramat karena Tilem adalah simbol kegelapan dengan angka 9.

Sebagai angka ganjil tertinggi dan sekaligus keramat.

“Ganjil dapat berarti lain daripada yang lain, tidak sebagaimana biasa, aneh dan ajaib,” jelasnya.

Sehubungan dengan itu, umat Hindu meyakini bahwa saat Tilem Kesanga bisa saja terjadi peristiwa atau hal yang aneh, akibat kegelapan pikiran manusia. (*)

Sumber: Tribun Bali
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved