Serba Serbi

Bahaya Bila Upacara Tawur Tidak Dilakukan Saat Tilem Kesanga Nyepi

Tidak melakukan upacara tawur beserta prosesi lainnya akan bisa menimbulkan kehancuran dan kerusakan di alam semesta ini.

Tribun Bali/Rizal Fanany
Ilustrasi - Bahaya Bila Upacara Tawur Tidak Dilakukan Saat Tilem Kesanga Nyepi 

Laporan Wartawan Tribun Bali, A A Seri Kusniarti

TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR - Dalam lontar Sundarigama, dijelaskan bahwa jika umat Hindu tidak melakukan upacara tawur beserta prosesi lainnya akan bisa menimbulkan kehancuran dan kerusakan di alam semesta ini.

Penyakit merajalela, manusia bertingkah laku aneh dan kejam akibat dirasuki roh-roh halus.

Sehingga menimbulkan huru-hara dimana-mana, tumbuh-tumbuhan meranggas dan mati, bencana alam dimana-mana serta pemerintah mengalami krisis.

“Karena itu, umat Hindu perlu membuat upacara untuk menghadapi sekaligus menetralisasi kekuatan-kekuatan yang menyebabkan timbulnya hal aneh. Sehingga alam semesta kembali normal, manusia hidup selamat dan sempurna,” jelas I Nyoman Suarka, Koordinator Tim Alih Aksara, Alih Bahasa, dan Kajian Lontar Sundarigama, Senin 8 Maret 2021.

Baca juga: Jangan Sepelekan Brata Nyepi, Ini Maknanya Dalam Hindu Bali

Baca juga: PHDI Bali Keluarkan SE Pelaksanaan Melis hingga Tawur Kesanga Serangkaian Nyepi di Tengah Pandemi

Baca juga: Sulinggih Muda, Berapa Sebenarnya Usia Ideal Menjadi Sulinggih?

Pasalnya pada Tilem Kesanga, yang jatuh pada Sabtu, 13 Maret 2021 nanti adalah hari sakral dan keramat (tenget).

Umat Hindu meyakini, pada Tilem Kesanga bisa terjadi peristiwa atau hal yang aneh.

Serta ajaib akibat kegelapan pikiran manusia.

Tilem Kesanga dikatakan malam gelap yang keramat, karena disebabkan pandangan dan keyakinan akan Tilem sebagai simbol kegelapan dan angka 9 sebagai angka ganjil tertinggi dan bernilai keramat.

Sehari setelah Tilem Kesanga, atau pada hari pertama paroh terang bulan kesepuluh disebut hari suci Nyepi.

Pada hari suci ini, umat Hindu dilarang mengambil pekerjaan, menyalakan api, tidak bepergian, atau membuat keributan.

Sesuai Catur Brata Penyepian yang berarti sepi dan sunyi, guna mengetahui rahasia batin dengan melakukan yoga semadi saat Nyepi.

Makna Nyepi adalah penjernihan batin.

Setelah umat Hindu berhasil menghadapi dan sekaligus mengatasi puncak keganjilan, dengan cara mengadakan upacara tawur serta melakukan yoga semadi pada Tilem Kesanga.

Selanjutnya dengan mengosongkan pikiran dari segala bentuk ikatan duniawi, terutama pengaruh tujuh lidah api di dalam diri.

“Umat Hindu menuju keheningan dan kesucian (yoga ameneng). Dalam kekosongan untuk dapat bersatu atau manunggal dengan Tuhan (Ida Sang Hyang Widhi Wasa). Hal ini sesuai dengan lambang angka 10 (kadasa), yang mengindikasikan tunggal dalam kekosongan. Kata kadasa kerap dianalogikan sebagai sesuatu yang bersih, suci, atau kedas,” kata guru besar Unud ini.

Sehingga saat Nyepi, umat Hindu merenungi serta mensyukuri kehidupan yang telah lampau.

Lalu menatap masa depan yang lebih baik.

Dengan pikiran, hati, dan batin yang suci dan bersih.

Umat Hindu mulai menapak hidup dan kehidupan baru, sehingga hari suci Nyepi juga disebut tahun baru Saka.

Jero Mangku Ketut Maliarsa, menjelaskan hakekat Nyepi adalah penyucian bhuana agung (alam semesta) dan bhuana alit (diri manusia).

Guna mewujudkan kesejahteraan dan kebahagiaan lahir batin (jagadhita dan moksa).

Serta terbinanya kehidupan yang berlandaskan satyam (kebenaran).

Kemudian siwam (kesucian) dan sundaram (keharmonisan/keindahan).

“Kesimpulannya bahwa umat Hindu merayakan hari suci Nyepi dalam tahun saka, sebagai hari yang mulia dan sangat dalam maknanya,” jelasnya.

Diharapkan sebagai kebangkitan diri yang baru, suci, pembaharuan pikiran dengan konsep mulat sarira (koreksi diri) dari perbuatan yang selama ini dilakukan.

Keesokan harinya setelah Nyepi, kata dia, adalah hari Ngembak Geni.

Dimana Catur Brata Penyepian telah usai.

Dilanjutkan dengan Dharma Shanti yaitu mengunjungi sanak saudara untuk bersilaturahmi dan bersyukur atas apa yang telah diberikan oleh Ida Sang Hyang Widhi Wasa.

Di sinilah berlaku konsep ‘Tat Twam Asi’ yang bermakna, aku adalah kamu dan kamu adalah aku.

Serta konsep ‘Waisudewa Khutumbhakam’ artinya kita adalah bersaudara.

Semuanya harus dilandasi dengan sradha atau keyakinan yang tinggi dalam memuja kekuatan Ida Sang Hyang Widhi Wasa.

Tuhan Yang Maha Esa, dalam upaya bersyukur dan mencapai keseimbangan alam semesta baik bhuana agung maupun bhuana alit.

Sehingga mencapai ‘Moksartham Jagadhita Ya Ca Iti Dharma’. (*).

Sumber: Tribun Bali
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved