Berita Bali
Petajuh MDA Bali Sayangkan Sulinggih Tersandung Kasus Hukum
Ditahannya seorang oknum sulinggih dari Gianyar, menggemparkan jagat Pulau Dewata.
Penulis: AA Seri Kusniarti | Editor: Ida Ayu Suryantini Putri
TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR – Ditahannya seorang oknum sulinggih dari Gianyar, menggemparkan jagat Pulau Dewata.
Banyak yang menyayangkan kejadian ini, karena mencoreng nama kasulinggihan di Bali.
Di mana seorang sulinggih adalah orang suci, pemuka agama, yang seharusnya mengayomi dan disegani masyarakat.
Satu di antara tokoh yang sedih dengan kondisi ini adalah Gusti Made Ngurah, Petajuh Bendesa Agung, Majelis Desa Adat (MDA) Provinsi Bali.
Pria yang membidangi urusan agama, seni budaya, tradisi, dan kearifan lokal ini, cukup kecewa mendengar kabar tersebut karena dianggap mencoreng nama kasulinggihan di Bali.
Baca juga: Korban Apresiasi Jaksa Tahan IWM, Kasus Dugaan Pencabulan Oknum Sulinggih Disidang 1 April di Bali
Baca juga: Wayan Sang Oknum Sulinggih Jalani Sidang Online Awal April, Korban Jalani Terapi Agar Siap Mental
Ia mengatakan, kewenangan majelis Majelis Parisadha Hindu Dharma untuk membicarakan hal ini.
Namun khusus untuk seorang sulinggih, guru nabe memiliki kewenangan dan hak terhadap sisya atau muridnya.
“Kewenangan seorang sulinggih, saat didiksa adalah kewenangan guru nabe. Nah nabenya ini, yang harus mencabut jika terjadi hal demikian."
"Sehingga kalau terjadi kasus, terlebih dahulu mestinya dicari siapa guru nabenya. Supaya dicabut kasulinggihan-nya baru diproses hukum,” tegasnya kepada Tribun Bali, Jumat 26 Maret 2021.
Sebab saat proses hukum, maka nama yang seharusnya tertera atau dipakai adalah nama welaka seorang sulinggih.
Tidak sepantasnya nama saat amari aran menjadi sulinggih.
Sebab nama tersebut adalah nama suci seorang sulinggih.
Baca juga: BREAKING NEWS : Oknum Sulinggih di Bali Tersangka Pencabulan Syok Langsung Ditahan
“Inilah masalah juga, sebab sulinggih sudah amari aran atau berganti nama jadi nama lamanya sudah tidak ada."
"Tetapi karena manusianya masih ada, ada nabenya juga maka nabenya yang harus mencabut itu,” jelasnya.
Apabila nabenya tidak diketemukan, entah karena meninggal atau lain sebagainya.
Tentu harus dicarikan solusi.
“Sebab kasus ini kan saya liat sepertinya guru nabenya tidak diketemukan. Itu semestinya Parisadha punya paruman sulinggih, dan paruman sulinggih-lah yang seharusnya membicarakan itu, untuk kasulinggihan-nya dicabut baru nanti diserahkan pada proses hukum,” katanya.
Sebenarnya dalam sesana kasulinggihan, seorang sulinggih tidak diperkenankan bersentuhan dengan hukum.
Karena maka itu, persyaratan menjadi seorang sulinggih sangat berat.
Semestinya dari awal harus disampaikan ke majelis agama, dan majelis agama yang menentukan boleh madiksa atau tidak.
“Ini kan persoalannya di sana, kemarin Ketua Parisadha membilang tidak ada datanya, atau catatannya di Parisadha. Kan berarti di luar jalur yang semestinya seseorang ini menjadi sulinggih dan itu tidak boleh sebenarnya,” tegasnya. Sebab yang kasihan adalah umat dan nama baik kasulinggihan di Bali juga dipertaruhkan.
Sulinggih baru terduga kasus hukum saja, kata dia, seharusnya sudah dicabut kasulinggihan-nya.
Harus disampaikan kepada nabenya dan diperiksa, kemudian dicabut baru diserahkan ke ranah hukum.
“Dan lagi seharusnya tidak bisa seorang tanpa nabe menjadi sulinggih. Itu kan tidak benar, karena sesuai aturannya sudah ada. Ada syarat usia, proses, pemeriksaan dan lain sebagainya. Baru ada upacara,” sebutnya.
Bahkan ada syarat lain, apabila seseorang mau menjadi sulinggih.
Jikalau sulinggih menjalankan lokapalasraya, maka terlebih dahulu harus memiliki sisya yang jelas.
Berapa sisyanya dan siapa saja, ketika seseorang menjadi sulinggih.
“Sebab sulinggih tidak bisa bekerja kasar lagi, tidak bebas lagi ke sana-kemari, maka sisyanya yang memberikan jaminan dan melakukan urusan duniawi itu,” katanya. Bahkan keluar sendiri dengan mobil pun tidak boleh.
Lalu syarat usia, dahulu seorang menjadi sulinggih minimal berusia 60 tahun.
“Namun belakangan pernah dibuat keputusan Parisadha usianya boleh 40 tahun. Tetapi kalau kita hubungkan dengan ahli fisiologi, ahli ilmu jiwa, dan kesehatan."
"Katanya orang terutama pria pada usia 38,48, dan 58 tahun secara jasmani sedang memasuki fase puncak seksualnya,” ujarnya.
Sehingga apabila ini tidak bisa dikendalikan, maka sangat berbahaya untuk seorang sulinggih. Yang seharusnya telah lepas dari segala nafsu duniawi.
Tetapi apabila ingin menjadi sulinggih, maka harus diperiksa kesanggupannya untuk mengendalikan diri, serta memegang sesana kesulinggihan.
Petajuh MDA Provinsi Bali ini, juga tidak sependapat apabila seseorang dengan usia di bawah 40 tahun menjadi sulinggih.
“Sebab belum terlalu bisa mengendalikan diri, nanti masuk ke warung, keluar sendiri, belum lagi punya anak dan memenuhi kebutuhannya. Akhirnya sesana kasulinggihan dilanggar,” tegasnya.
Sebab sulinggih tidak boleh melakukan segalanya sendiri, karena beliau punya sesana, punya aturan.
Aturannya itu memang dibuat, untuk orang yang sudah lepas dari kehidupan dunia ini. Sehingga untuk menjaga kesucian seorang sulinggih, maka pertama adalah menjaga diri sendiri sulinggih itu.
Sehingga dibutuhkan sisya, atau pendamping kemanapun sulinggih berada. Sebagai orang yang mengingatkan dan membantunya. Agar tidak bersentuhan langsung dengan hal-hal yang bersifat duniawi.
“Karena kan memang sudah meraga putus,” imbuhnya. (*)
Berita lainnya Serba serbi