Berita Denpasar
Sulinggih jika Tersandung Kasus Hukum Haruskah Ngelukar Gelung?
Ida Rsi Bhujangga Waisnawa Putra Sara Shri Satya Jyoti, sangat menyayangkan adanya kasus yang menimpa seorang sulinggih di Gianyar.
Penulis: AA Seri Kusniarti | Editor: Ida Ayu Suryantini Putri
TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR – Ida Rsi Bhujangga Waisnawa Putra Sara Shri Satya Jyoti, juga sangat menyayangkan adanya kasus yang menimpa seorang sulinggih di Gianyar.
Beliau menjelaskan jika berbicara ihwal sulinggih, maka memang sangat berat karena berhubungan dengan banyak hal, di antaranya, nabe, Parisadha, warga atau trah dari sulinggih tersebut, masyarakat umum atau umat Hindu, dan pemerintah secara umum.
“Oleh karena itu, dalam sesananing sulinggih sudah disebutkan, apa hal-hal yang boleh dan yang tidak boleh dilakukan,” tegas ida rsi, kepada Tribun Bali, Jumat 26 Maret 2021.
Sesana atau aturan-aturan ini sangat ketat sekali.
Sehingga sang calon sulinggih, begitu juga sang guru nabe harus betul-betul mengetahui serta memahami sesana-sesana tersebut.
Baca juga: Petajuh MDA Bali Sayangkan Sulinggih Tersandung Kasus Hukum
Baca juga: Korban Apresiasi Jaksa Tahan IWM, Kasus Dugaan Pencabulan Oknum Sulinggih Disidang 1 April di Bali
Beserta larangan-larangannya, termasuk akibat yang akan diterima apabila melanggar hal-hal tersebut.
“Jangan lupa bahwa kita hidup dalam negara kesatuan yang berdaulat, memiliki aturan-aturan serta hukum-hukum kenegaraan yang harus ditaati dan dihormati,” kata mantan jurnalis ini.
Sedangkan dalam konsep agama Hindu di Bali, juga ada hukum agama serta hukum ketuhanan, seperti hukum karma.
Kemudian hukum moral serta hukum yang dikenai apabila melanggar sesana.
“Di samping itu ada hukum masyarakat, dalam hal kasulinggihan ini. Maka akan muncul berupa hukum moral dan kepercayaan,” tegas pendiri dan pembina Pasraman Bhuwana Dharma Shanti ini.
Dalam pertanyaan jika seorang sulinggih sudah ditangkap dan masuk sel, apakah seharusnya ngelukar gelung (melepas jabatannya) atau bagaimana.
Baca juga: Wayan Sang Oknum Sulinggih Jalani Sidang Online Awal April, Korban Jalani Terapi Agar Siap Mental
Ida menjelaskan, apabila seseorang baru sebagai terdakwa (sebelum memiliki alat bukti lengkap), dan sang nabe belum mengetahui betul permasalahannya, maka sulinggih yang hanya baru didakwa ini masih boleh memakai gelung.
“Namun apabila tidak terbukti maka yang mendakwa baik itu dari kepolisian, pengadilan, dan orang-perorangan harus mengembalikan nama baik sulinggih tersebut baik kepada nabenya, Parisadha, keluarga besar dan masyarakat umum,” tegas ida.
Tetapi apabila sebaliknya, yaitu cukup bukti bahwa sulinggih tersebut memang bersalah. Sudah sepatutnya polisi dan penegak hukum lainnya, menangguhkan penahanan sementara.
Dengan memberikan kesempatan terlebih dulu kepada nabe dari sulinggih tersebut untuk prosesi ‘ngelukar gelung’ sulinggih tersebut.
Sehingga yang tadinya sulinggih berubah menjadi masyarat biasa atau kembali walaka.
Baca juga: Oknum Sulinggih Syok Langsung Ditahan, Menyangkal Lakukan Pencabulan di Tempat Suci
“Karena dalam persoalan hukum yang dikenakan adalah manusianya, bukan jabatannya sebagai sulinggih,” sebut ida.
Nah setelah terdakwa tersebut ngelukar gelung, barulah sepatutnya ia ditahan sebagai walaka, dan bisa masuk sel.
Sebab tidak elok jika seorang sulinggih masuk sel. Kemudian apakah layak sulinggih dimasukkan dalam penjara.
Pensiunan dosen Unhi ini, menegaskan bahwa seorang sulinggih tidak layak masuk penjara.
Tetapi yang layak masuk penjara adalah walaka.
“Oleh karena itu pihak kepolisian, kejaksaan/pengadilan dalam kasus sulinggih, seharusnya memberikan tenggang waktu sedikit untuk terlebih dulu melaksanakan proses ngelukar gelung yang segera harus dilaksanakan oleh nabe,” kata ida.
Seperti telah disebutkan di atas, sesana sulinggih sangat ketat sekali.
Salah satu disebutkan sang sulinggih tidak boleh tersangkut masalah kasus hukum pidana atau kriminal.
“Oleh sebab itu sulinggih apabila keluar, harus ada yang mendampingi (pengiring),” sebut ida. Sulinggih tidak diperkenankan mengemudi sendirian dan melakukan hal lain sendiri layaknya masih welaka.
“Nah larangan ini sudah dibuat agar sang sulinggih tidak berurusan dengan hal duniawi apalagi hukum,” imbuh beliau. Lebih-lebih hukum yang menyangkut pidana dan kriminal.
Oleh sebab itu, ketika sang sulinggih sudah berurusan dengan masalah hukum (didakwa), maka di sinilah kewajiban seorang nabe yang memiliki peranan, sesuai dengan sesana seorang nabe.
“Ketika nanak sudah masuk sebagai terdakwa, dan tidak perlu menunggu masuk penjara. Maka seharusnya nabe berani bersikap tegas dengan ngelukar gelung pada nanaknya ini,” kata ida.
Agar nantinya ketika masuk dalam ranah pengadilan, tidak lagi menjadi atau disebutkan seorang sulinggih yang diadili. Tetapi yang diadili adalah seorang walaka.
Untuk itu sesana kasulinggihan adalah ketat sekali.
“Nah apabila nabenya tidak tegas, maka yang akan dicemooh bukan hanya kualitas nanaknya saja, tetapi juga kualitas nabenya dipertanyakan,” kata ida.
"Itulah susahnya menjadi sulinggih lebih-lebih menjadi nabe. Namun apabila dalam perkara di pengadilan dimenangkan oleh terdakwa."
“Maka terdakwa berhak meminta pengembalian nama baik setelah tertuduh. Dan dapat dipodgala lagi untuk memulihkan kasulinggihannya, tentu saja dengan banyak pertimbangan lagi,” jelasnya.
Namun apabila si terdakwa memang terbukti bersalah, maka nabe tidak berhak lagi mengembalikan kasulinggihan bekas nanaknya walaupun sudah bebas dari hukuman, karena si terdakwa sudah panten. (*)
Berita lainnya di Berita Bali