Berita Denpasar

Desa Adat Kesiman Lakukan Sidak ke Ashram Sri Khrishna Balarama Mandir di Padang Galak Denpasar

I Ketut Wisna, bersama jajarannya mendatangi Ashram Sri Krishna Balarama Mandir di wilayah Padang Galak, Kesiman, Denpasar.

Penulis: AA Seri Kusniarti | Editor: Wema Satya Dinata
istimewa
Suasana sidak Desa Adat Kesiman ke Ashram Sri Krishna Balarama Mandir di Padang Galak, Denpasar. 

Laporan Wartawan Tribun Bali, A A Seri Kusniarti

TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR - Bendesa Adat Kesiman, I Ketut Wisna, bersama jajarannya mendatangi Ashram Sri Krishna Balarama Mandir di wilayah Padang Galak, Kesiman, Denpasar.

Kedatangan itu adalah sidak oleh krama Desa Adat Kesiman.

“Dasar pemikiran kami, Desa Adat sebagai Desa Dresta adalah kesatuan masyarakat hukum adat di Bali. Yang mempunyai satu kesatuan tradisi dan tata krama, pergaulan hidup masyarakat umat Hindu secara turun-temurun dalam ikatan Kahyangan Tiga (Kahyangan Desa) yang mempunyai wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri serta berhak mengurus rumah tangganya sendiri,” jelasnya kepada Tribun Bali, Senin 19 April 2021.

Desa pakraman, dalam penyelenggaraan pemerintahan dapat menetapkan aturan-aturan sendiri berupa awig-awig dan hukum adat.

Baca juga: Ops Keselamatan Agung Sudah Digelar Sepekan, Kasatlantas Polresta Denpasar: Belum Ada Kasus Menonjol

Penyusunan awig-awig desa, kata dia, bersumber dari falsafah Tri Hita Karana, yaitu mengatur keharmonisan hubungan antara manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa. Kemudian hubungan manusia dengan sesama manusia, dan manusia dengan alam.

“Desa adat memiliki tugas dan wewenang sesuai Perda No. 4 Tahun 2019 tentang Desa Adat, terdapat dalam bagian kesatu, pasal 21, yang menyebutkan bahwa desa adat memiliki tugas mewujudkan kasukertan desa adat yang meliputi ketenteraman, kesejahteraan, kebahagiaan, dan kedamaian sekala dan niskala,” sebutnya.

Untuk melaksanakan tugas menjaga ketentraman desa adat, dilakukan pengawasan yang berhubungan dengan sistem sosial kemasyarakatan yang harmonis antar krama. Khususnya di wewidangan desa adat. 

“Oleh karena itu, harus dilakukan penertiban yang berkala dan sistematis, dengan melakukan sidak-sidak krama khususnya bagi yang diduga akan mengganggu ketentraman desa adat,” katanya.

Dasar hukum sidak krama adat, adalah Perda No. 4 tahun 2019 tentang desa adat pada bagian ketiga, tentang pawongan desa adat pasal 8: (1) Pawongan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) berupa sistem sosial kemasyarakatan yang harmonis antar krama di wewidangan desa adat. (2) Krama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas: krama desa adat, yaitu warga masyarakat Bali beragama Hindu yang mipil dan tercatat di desa adat setempat.

Kemudian krama tamiu, yaitu warga masyarakat Bali beragama Hindu yang tidak mipil tetapi tercatat di desa adat setempat.

Dan tamiu, yaitu orang selain krama desa adat dan krama tamiu yang berada di wewidangan desa adat untuk sementara atau bertempat tinggal dan tercatat di desa adat setempat.

Syarat-syarat dan tata cara mipil sebagai krama desa adat, serta pencatatan sebagai krama tamiu dan tamiu diatur dalam awig-awig dan/atau pararem desa adat.

 “Dengan dasar hukum Perda No. 4 Tahun 2019 ini, pelaksanaan penertiban krama adat dengan menegakkan awig-awig desa adat sangat diperlukan. Sesuai dengan tugas dan wewenang dari desa adat,” tegasnya.

Lalu SKB PHDI – MDA Bali, Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Provinsi Bali, dan Majelis Desa Adat (MDA) Provinsi Bali. Menerbitkan surat keputusan bersama nomor: 106/PHDI-Bali/XII/2020 dan Nomor: 07/SK/MDA-Prov Bali/XII/2020. SKB ini, ditandatangani Ketua PHDI Bali, I Gusti Ngurah Sudiana, dan Bandesa Agung MDA Provinsi Bali, Ida Panglingsir Agung Putra Sukahet.

Baca juga: Pedagang Acung dan Pengamen Sebaiknya Dibina, Makin Banyak Beraktivitas di Kota Denpasar

Keputusan bersama PHDI dan MDA Bali, tentang pembatasan kegiatan pengembangan ajaran sampradaya non-dresta Bali di Bali. Yang mulai berlaku pada tanggal ditetapkan Rabu, 16 Desember 2020.

Menetapkan, pertama Parisada Hindu Dharma Indonesia Provinsi Bali, dan Majelis Desa Adat Provinsi Bali, secara bersama-sama melindungi setiap usaha penduduk menghayati dan mengamalkan ajaran agama dan kepercayaannya.

Sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, serta tidak mengganggu ketenteraman dan ketertiban umum.

Kedua, sampradaya non-dresta Bali merupakan organisasi dan/atau perkumpulan yang mengemban paham, ajaran, dan praktek ritual yang tata pelaksanaannya tidak sesuai dengan adat, tradisi, seni dan budaya, serta kearifan lokal dresta Bali.

Ketiga, untuk menjaga kerukunan, kedamaian, dan ketertiban kehidupan beragama Hindu serta pelaksanaan kegiatan pengembanan ajaran sampradaya non-dresta Bali, maka menugaskan kepada Parisada Hindu Dharma Indonesia kabupaten/kota, kecamatan, dan desa/kelurahan se-Bali untuk secara bersama-sama melarang sampradaya non-dresta Bali di Bali menggunakan pura dan wewidangannya, tempat-tempat umum/fasilitas publik, seperti jalan, pantai, dan lapangan untuk melaksanakan kegiatannya.

Melakukan pengawasan, pemantauan, dan evaluasi terhadap keberadaan sampradaya non-dresta Bali di Bali dalam pengembanan ajarannya.

Melakukan koordinasi dengan majelis desa adat, sesuai tingkatan dan prajuru desa adat dalam mengawasi, memantau, dan mengevaluasi keberadaan sampradaya non-dresta Bali di Bali. dan melaporkan hasil kegiatan pelarangan, pengawasan, pemantauan, dan evaluasi terhadap keberadaan sampradaya non-dresta Bali di Bali kepada Parisada Hindu Dharma Indonesia Provinsi Bali.

Dengan tembusan kepada Majelis Desa Adat Provinsi Bali. Majelis Desa Adat kabupaten/kota dan kecamatan beserta prajuru desa adat se-Bali, untuk secara bersama-sama melaksanakan  penjagaan kesakralan dan kesucian pura, yang ada di wewidangan desa adat, meliputi pura kahyangan banjar, pura kahyangan desa, pura sad kahyangan, pura dhang kahyangan, serta pura kahyangan jagat lainnya.

Pelarangan kegiatan ritual sampradaya non-dresta Bali, diwewidangan desa adat yang bertentangan dengan sukerta tata parahyangan, awig-awig, pararem, dan/atau dresta desa adat masing-masing. 

Pelarangan sampradaya non-dresta Bali di Bali melaksanakan kegiatan di pura/kahyangan yang ada di wewidangan desa adat dan/atau kahyangan tiga masing-masing desa adat.

Baca juga: Bule Swedia Diduga Aniaya PSK di Sanur Denpasar Bali, Begini Penjelasan Polisi

Koordinasi dengan pangempon masing-masing pura, untuk melarang kegiatan sampradaya non-dresta Bali yang tidak sejalan dengan ajaran Hindu di Bali.

Apabila mereka berkeinginan dan/atau melaksanakan kegiatan di pura/parahyangan (dang kahyangan atau kahyangan jagat) atau tempat suci lain yang ada di wewidangan desa adat yang menjadi tanggung jawab pangempon masing-masing sesuai dresta setempat.

“Pengawasan, pemantauan, dan evaluasi terhadap sampradaya non-dresta Bali di Bali dalam pengembanan ajarannya serta koordinasi dengan Parisada Hindu Dharma Indonesia sesuai tingkatan dalam mengawasi, memantau, dan mengevaluasi keberadaan sampradaya non-dresta Bali di Bali. Dan melaporkan hasil kegiatan pelarangan, pengawasan, pemantauan, dan evaluasi terhadap sampradaya non-dresta Bali di Bali kepada Majelis Desa Adat Provinsi Bali dengan tembusan kepada Parisada Hindu Dharma Indonesia Provinsi Bali,” imbuhnya.

Keempat, kata dia, para penganut, anggota, pengurus dan/atau simpatisan sampradaya non dresta Bali di Bali di dalam mengemban atau melaksanakan cita-cita dan kewajiban ajarannya. Dilarang  melakukan penafsiran terhadap ajaran dan tatanan pelaksanaan ajaran agama Hindu di Bali. Mengajak dan/atau mempengaruhi orang lain untuk mengikuti ajaran sampradaya non-dresta Bali. Menyebarluaskan pernyataan-pernyataan yang mendiskreditkan pelaksanaan kegiatan keagamaan Hindu di Bali, serta tidak sesuai dengan adat, tradisi, seni, budaya, dan kearifan lokal.

Memasukkan ajaran keyakinan sampradaya non-dresta Bali ke dalam buku agama Hindu dan buku pelajaran agama Hindu di Bali. Mengajarkan dan melakukan aktivitas dalam bentuk apapun pada lembaga lembaga pendidikan di Bali. Dan/atau melakukan kegiatan ritual yang menyerupai kegiatan keagamaan Hindu dresta Bali di Bali.

Kelima, kepada penganut, anggota, pengurus dan/atau simpatisan Hare Krishna/International Society Krishna Consciousness (ISKCON) beserta organisasinya di Bali. Sebagai bagian dari sampradaya non-dresta Bali agar sungguh-sungguh dan penuh tanggung jawab, menaati keputusan bersama ini dan melaksanakan pernyataan kesanggupan yang telah dibuat dalam mewujudkan kedamaian dan ketertiban kehidupan beragama Hindu di Bali.

Keenam, penganut, anggota, pengurus, dan/atau simpatisan sampradaya non-dresta Bali beserta organisasinya di Bali yang tidak menaati keputusan bersama ini dan/atau menimbulkan gangguan kerukunan, kedamaian, dan ketertiban kehidupan beragama Hindu di Bali, dapat diberikan sanksi hukum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan/atau hukum adat di masing-masing desa adat. Ketujuh, lanjut dia, masyarakat berkewajiban berperan aktif membantu pelaksanaan keputusan bersama ini dalam rangka menjaga kerukunan, kedamaian, dan ketertiban kehidupan beragama Hindu di Bali. 

Pasca Sidak Ashram Sepi

Tribun Bali pun coba mendatangi Ashram Sri Khrisna Balarama Mandir, di wilayah Padang Galak, Denpasar, Senin 19 April 2021.

Suasana ashram yang berada di sebuah gang itu, tampak sepi. Hanya beberapa orang di dalam yang sedang menyapu.

I Wayan Ropen, asal Buleleng kemudian datang menghampiri. Ia mengatakan, akan memanggil satu diantara pengurus yang berwenang memberi statement ke media. Sekitar 20 menit kemudian, Tribun Bali berkesempatan mengobrol dengan Humas Ashram Sri Krishna Balarama Mandir, Wayan Suasta.

Wayan Ropen mengaku biasanya masuk ke ashram saat ia sudah selesai bekerja.

"Saya kenal guru di sini sudah 30 tahunan, dan memang tujuan saya ke sini mencari ketenangan," kata ayah dua anak ini.

Wayan Suasta, dengan pakaian serba putih menghampiri sembari mencakupkan tangan dan memberi salam.

Wajahnya tampak gusar, namun tetap berusaha tetap tenang.

Meladeni media hingga pihak kepolisian yang datang silih berganti.

Suasta mengatakan, bahwa tak banyak yang ia bisa bagi ke media. Sebab semuanya masih dalam tahap pembicaraan bersama. Sampai nanti didapatkan keputusan yang final.

"Kami mohon maaf, belum bisa memberikan keterangan apapun," tegasnya.

Intinya, secara garis besar bahwa ashram itu adalah tempat belajar bakti yoga. Dan setelahnya yang datang pulang ke rumah masing-masing. Istilahnya adalah pendalaman spiritual agama.

"Ketika pulang kembali, mereka mengikuti adat istiadat setempat," jelasnya.(*)

Artikel lainnya di Berita Denpasar

Sumber: Tribun Bali
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved