Serba Serbi
Meninggal Dunia karena Salah Pati, Ini Tata Cara Upacara Pitra Yadnya dalam Hindu Bali
Meninggal karena usia dan sakit. Kemudian salah pati, atau kecelakaan. Serta ngulah pati seperti bunuh diri.
Penulis: AA Seri Kusniarti | Editor: Wema Satya Dinata
Laporan Wartawan Tribun Bali, A A Seri Kusniarti
TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR – Segala sesuatu dalam Hindu Bali, diupacarai dengan upakara atau bebantenan. Guna mendapatkan berkah dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa.
Termasuk juga jika ada kematian, maka akan dilakukan upacara ngaben.
Namun ada beberapa hal sesuai lontar, yang harus dilakukan dalam upacara ngaben.
Sebab kematian dalam kepercayaan Hindu Bali pun, dibagi menjadi tiga.
Baca juga: Keluarga Mapinunas Hari Ini 14 Februari, Upacara Pengabenan Ipda I Putu Bayu Harpendina Belum Pasti
Meninggal dunia karena usia dan sakit. Kemudian salah pati, atau kecelakaan. Serta ngulah pati seperti bunuh diri.
Penanganan masing-masing kematian ini juga tidak sama.
Satu contoh, BPBD Gianyar hari ini, Rabu 28 April 2021 telah menemukan jenazah diduga Ni Komang Ayu Ardani asal Banjar Teruna, Desa Siangan, Gianyar, Bali.
Setelah melakukan pencarian cukup lama, jenazah korban kecelakaan ini ditemukan dalam kondisi tidak utuh. Dan kini BPBD Gianyar tengah melakukan proses evakuasi.
Ida Rsi Bhujangga Waisnawa Putra Sara Shri Satya Jyoti, menjelaskan bahwa korban termasuk mengalami salah pati.
Untuk itu, beliau menyarankan agar melakukan pengulapan di lokasi penemuan jasadnya.
“Ngulapin ini, tujuannya agar roh korban yang meninggal tersebut tidak bingung. Serta bisa berada pada sanggah urip sebagai pengikat atau pemegang roh,” sebut Ida kepada Tribun Bali.
Kemudian dibuatkan upacara Guru atau Bendu Piduka.
“Karena kita tidak tahu apa ada kesalahan yang pernah dilakukan, baik dari orang yang meninggal atau kerabatnya,” jelas Ida.
Tentang ngaben sendiri, kata Ida, bagi tubuh yang tidak utuh juga ada aturannya.
Baca juga: Ini Penjelasan Terkait Ngaben dan Penyebab Kematian Menurut Ida Pedanda Gde Keniten
Disebutkan dalam lontar Yama Purana Tattwa, Yama Purwa Atma Tattwa, Yama Purwana Tattwa, dan masih banyak lagi lontar-lontar tentang pengabenan. Bahwa disebutkan, orang meninggal seperti yang disebutkan dalam berita, maka upacara pengabenan ditunda selama waktu yang ditentukan.
“Biasanya setelah lewat satu tahun. Karena kematiannya ini dianggap tidak wajar, yang juga disebut salah pati,” tegas pensiunan dosen Unhi ini.
Bisa dengan ditanam (kubur) terlebih dahulu, sampai tiba waktunya diaben. Seperti dijelaskan dalam lontar-lontar tentang tata cara upacara pengabenan.
Agama Hindu yang melekat dengan adat dan budaya, memang memiliki aturan tersendiri dan secara turun-temurun diikuti oleh generasi penerus. Bahkan di berbagai wilayah pun, memiliki keunikannya tersendiri.
Walau demikian, inti dari yadnya suci di Bali adalah kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa atau Tuhan Yang Maha Esa.
Begitu juga pitra yadnya, atau upacara untuk mengembalikan roh manusia yang telah meninggal kepada sang pencipta. Seperti yang diceritakan, Ida Pedanda Gde Keniten, dari Gria Gede Jumpung, Banjar Lebah, Timpag, Kerambitan, Tabanan.
Beliau menjelaskan, bahwa di bumi ini ada 3 kekuatan besar yang mengaturnya dari zaman ke zaman. Diantaranya, utpeti, stiti, dan pralina.
“Utpeti adalah proses penciptaan, stiti adalah pemeliharaan, dan pralina adalah proses peleburan atau kematian,” jelasnya kepada Tribun Bali, Minggu beberapa waktu lalu.
Dalam utpeti, semuanya telah melalui proses upacara dan upakara baik dari dalam kandungan hingga lahir ke dunia.
Demikian juga stiti, ketika manusia hidup dan bertumbuh hingga menikah dan dewasa lalu memiliki keturunan.
Baca juga: Rencana Pengabenan Jenazah Brigjen Putu Danny, Abunya Dimakamkan di TMP Kalibata & Dibawa ke Bali
Kehidupan pun berlanjut, hingga pralina atau kematian sebagai kodrat manusia dan alam semesta.
“Tidak mungkin makhluk hidup bisa menghindar dari kematian, semua orang pasti meninggal,” tegas beliau.
Ida pedanda, melanjutkan ketika manusia meninggal ini pun dilihat prosesnya. Apakah seseorang itu meninggal dalam kondisi yang benar, salah pati atau bahkan ngulah pati.
Salah pati, kata ida, semisal kematian yang tidak terduga seperti dicotot ular, kecelakaan, diserang harimau dan sebagainya.
Sedangkan ngulah pati adalah karena kehendak sendiri, semisal bunuh diri atau mengambil jalan pintas lainnya.
Sedangkan kematian karena usia yang sudah tua atau sakit disebut meninggal yang wajar.
“Nah apabila kematian yang wajar, maka haruslah dilakukan prosesi ngaben. Kalau salah pati, memang tidak patut langsung diaben harus dipendem (dikubur) dahulu, begitu juga ngulah pati harus dipendem,” sebut beliau.
Itupun, kembali ada aturannya sesuai dengan ajaran Hindu di Bali.
Apabila, seseorang meninggal karena salah pati maka setelah dipendem selama 3 tahun baru bisa diaben.
Sementara ngulah pati, setelah dipendem selama 5 tahun baru bisa diaben.
“Antara salah pati dan ngulah pati ini, sepanjang melewati proses penebusan, maka bisa mengubah status yang meninggal salah pati atau ngulah pati menjadi kematian yang dianggap benar, dan diperbolehkan diaben,” jelas beliau.
Sedangkan apabila, seseorang meninggal secara wajar maka seyogyanya langsung melakukan prosesi ngaben.
Ida pedanda menjelaskan, bisa dipendem hanya saja dengan aturan di desa kala patra masing-masing.
Beliau menegaskan, apabila kematian wajar dan keluarganya tidak bisa melakukan upacara ngaben. Baik itu karena suatu kendala, semisal kendala finansial. Maka diperbolehkan, jenazahnya untuk dipendem.
Kemudian sesuai aturan, prosesi itu jika menggunakan tirta pangentas maka dalam kurun waktu 7 bulan minimal dan 3 tahun maksimal, harus sudah diaben.
Jika tanpa tirta pangentas, maka layon atau jenazah itu dalam setahun sudah harus diangkat dari kuburan dan diaben.
Ini telah dilakukan sesuai adat tradisi turun-temurun dari warisan nenek moyang di Bali.
Sebab segala hal di Bali, ada aturan yang mengikatnya.
Ida pedanda melihat saat ini ada yang disebut makingsan di gni.
Makingsan di gni, biasa dilakukan apabila tidak ada hari baik untuk ngaben.
Atau karena alasan lainnya, semisal masalah finansial.
“Makingsan di gni ini statusnya sama dengan mapendem, tapi melalui proses dibakar mayatnya,” jelas beliau. (*)
Artikel lainnya di Serba Serbi