Berita Bali
Dinilai Langgar Etika Prinsipil, Alasan MDA Bali Tutup Krisna Balaram Ashram
Kanwil Kementerian Agama Provinsi Bali adakan pertemuan, membahas dengan penutupan dan penolakan keberadaan Krisna Balaram Ashram
Penulis: Ni Luh Putu Wahyuni Sari | Editor: Putu Dewi Adi Damayanthi
TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR - Kanwil Kementerian Agama Provinsi Bali adakan pertemuan dengan beberapa pejabat penting.
Diantaranya Kepala Kepolisian Daerah Bali, Danrem 163 Wira Satya, Kepala Kejaksaan Tinggi Bali, Ketua PHDI Provinsi Bali, Ketua MDA Provinsi Bali dan beberapa pejabat penting lainnya.
Pertemuan yang digelar di kantor wilayah Kementerian Agama (Kemenag) Provinsi Bali Jalan Letda Tantular Denpasar, Jumat 30 April 2021, tersebut membahas dengan penutupan dan penolakan keberadaan Krisna Balaram Ashram (ISKCON) di Jalan Padang Galak Penyu Dewata III Nomor 4 yang dilakukan oleh Bendesa Adat Kesiman, Minggu 18 April 2021 lalu.
Ketua Majelis Desa Adat Provinsi Bali, Ida Panglingsir Agung Putra Sukahet menjelaskan, persoalan penolakan Hare Krisna serta Sampradaya Asing lainnya yang non-dresta Bali bukan merupakan bentuk Bali anti dengan budaya asing.
Baca juga: Desa Adat Disebut Tidak Langgar Hukum Tutup Ashram ISKCON, Begini Penjelasan Ketua MDA Bali
"Penolakan ini telah mendapatkan dukungan dari semua pihak termasuk pemerintah. Jadi sang pradaya asing tersebut ditolak di Bali dan dibekukan dengan SKB. Ibaratnya hanya di situ saja SKB-nya dan desa-desa adat kemudian melakukan kewenangannya itu. Yang pertama, bukan hanya karena perbedaannya saja. Artinya kita tidak anti budaya asing. Tidak anti orang asing apalagi, dan tidak mungkin anti India. Jangan sampai dibelokkan ke situ. Kalau disebutkan anti India, nanti ada negara yang diadudomba. Kalau anti budaya dan orang asing, tidak mungkin, karena sejarahnya sudah ada. Kita semua sangat welcome," jelasnya, Jumat 30 April 2021.
Dia mengatakan, mengapa sampai terjadi penutupan pada tempat tersebut, itu karena adanya pelanggaran etika.
Pelanggaran etika tersebut merupakan etika yang sangat prinsipil diterapkan umat Hindu, khususnya di Bali.
Beberapa etika yang dilanggar tersebut, salah satunya, adalah melakukan penyebaran secara massif strategi keyakinan yang sangat berbeda.
"Dan itu semua karena etika dilanggar. Etika yang paling prinsipil. Jadi bukan karena perbedaan. Islam berbeda dengan Hindu Dresta Bali, Kristen juga berbeda, Budha, Kong Hu Chu juga berbeda, tapi bisa hidup sangat damai di Bali. Etika yang dilanggar tersebut adalah mereka sudah menyebarkan secara massif strategis keyakinan yang sangat berbeda itu. Mereka sebarkan ke dalam umat yang sudah memiliki keyakinan dresta Bali. Dan itu kesalahan pertama," tambahnya.
Dan untuk melaksanakan penyebaran-penyebaran itu, kata dia, sudah banyak terbukti bahwa mereka kemudian mendiskreditkan agama Hindu Bali, terutama upacaranya.
Adat bali bahkan juga desa-desa adat Bali didiskreditkan.
"Contohnya saja mereka mengatakan, misalnya, adat yang seperti itu kurang bagus atau jelek. Mari ke sini agar lebih ekonomis. Entah lebih praktis atau lebih mudahlah, seperti itu. Maka dari itu kita sangat tekankan tidak diperbolehkan mendiskreditkan agama Hindu di Bali," imbuhnya.
Selain itu, menurutnya, terdapat juga hal yang diduga memanipulasi ajaran Hindu Bali, Hindu Nusantara serta Hindu Darma Indonesia ke dalam ajaran-ajaran dalam hal ini yaitu Hare Krisna.
Setelah itu masyarakat Hindu Bali pun akhirnya beranggapan jika dibiarkan lama-kelamaan ajaran Hindu Bali, budaya adat Bali dan desa adat Bali juga dihancurkan.
Baca juga: MDA Jembrana Imbau Umat Hindu Tetap Terapkan Prokes Saat Rayakan Galungan
Itulah yang menyebabkan akhirnya terdapat SKB. Kemudian soal desa-desa adat, ia mengatakan, mempunyai kewenangan yang diberikan oleh Negara Konstitusi untuk menjaga kerukunan keharmonisan sesuai dengan Tri Hita Karana.