Wawancara Tokoh
Wawancara Eksklusif Terpidana Bom Bali I Ali Imron: Saya Berteman dengan Anak Korban Bom Bali
Terpidana kasus Bom Bali, Ali Imron tengah giat mengkampanyekan deradikalisasi.
Semuanya membekas. Tapi yang membuat saya betul-betul saya semakin menyadari besarnya kesalahan adalah bertemu dengan anak korban yang pada waktu peristiwa itu usia 10 tahun. Itu peristiwa bom Bali, jadi ayahnya pada waktu itu supir taksi, berada di sekitar Sari Klub. Anak ini umur 10 tahun ketika ayahnya meninggal. Kemudian bertemu saya saat usia anak ini 27 tahun. Saya memang selalu menyadari sebagai orang salah hanya bisa memohon maaf. Bagaimana si anak ini bertemu saya pertamakali, jadi istilahnya, saya menyadari bahwa anak 10 tahun ditinggal ayahnya karena ulah kami betul-betul, kalau jiwa dan hatinya tidak benar-benar tulus tidak mungkin bisa memaafkan saya. Jadi dari awal pertemuan itu sudah gemetar, jengkel, marah dan sebagainya. Tapi alhamdulillah, akhirnya dialog, saya akhirnya bisa jelaskan, anak ini bisa memaafkan saya. Kami pelukan, alhamdulilah akhirnya bisa menjadi teman. Itu yang paling membekas.
Pernah ajukan grasi ke presiden?
Saya ketika dituntut 20 tahun, akhirnya didakwa penjara seumur hidup, waktu itu saya tidak banding. Apa pertimbangan saya? Kalau saya banding, saya akan menyakiti hati para korban dan keluarga korban. Pada waktu itu oleh Presiden Megawati ditolak grasi yang saya ajukan. Waktu jaman Presiden SBY, Susilo Bambang Yudhoyono juga (mengajukan grasi) tetapi ditolak juga. Sekarang ini saya ajukan grasi juga, resminya sudah ajukan tiga kali. Kalau tidak resminya itu tiap hari saya ajukan.
Kalau dikabulkan, yang saya lakukan deradikalisasi. Di antaranya klarifikasi terhadap kejadian-kejadian yang membuat kami masuk penjara. Pertama klarifikasi kepada teman-teman kami yang alumni Afghanistan. Mereka punya pandangan tidak benar, mereka berpandangan kami dizolimi, ditangkap karena dijahati, karena berjuang. Kemudian kepada kawan-kawan JI, dengan pondok pesantren, kepada semuanya. Tujuannya tetap, deradikalisasi. Misi saya hanya itu. Kenapa saya ingin bebas? Kalau enak-enak, aman-aman, enak di dalam (penjara). Dijaga, diawasi, Tetapi banyak kawan-kawan kami alumni JI tidak berani membesuk kami. Kalau mereka tidak tahu faktanya, mereka bisa jadi melakukan aksi. Berpandangan kami dizolimi, oleh karena itu harus melakukan aksi. Oleh karena itu, ini tujuan saya (mengajukan grasi).
600 mantan Napiter yang dibebaskan punya keluarga. Bagaimana membina mereka supaya tidak jadi bagian dari terorisme lagi?
Caranya sebagaimana dilakukan BNPT selama ini. Yang saya lakukan, semacam itu. Tidak bisa kita buat mereka ini misalkan 100 persen harus NKRI harga mati, atau pancasilais, itu tidak bisa. Jadi harus kita ini sabar juga, bahwa yang penting mereka ini tidak gabung lagi, dan tidak melakukan aksi teror lagi. Selama ini yang saya pantau, alhamdulilah banyak yang menyadari (kesalahan). Terutama kami, yang misalkan tergabung afiliasi, misal Al-Qaeda, yang pernah ditangkap dan sudah keluar, jarang langsung melakukan aksi. Mereka ini kebanyakan menyembunyikan informasi dan membantu jaringannya, itu ada ratusan. Sehingga ketika mereka ditangkap, yang asalnya sesama JI, ketika di luar tidak setuju kami melakukan pengeboman, dipenjara pun mereka tidak setuju. Sehingga ketika bebas pun mereka juga tidak setuju. Kawan-kawan Seperti inilah yang saya pribadi mengharapkan untuk terus Istikomah bahwa ketidaksetujuan dengan aksi teror atau kekerasan atas dasar jihad ini supaya dikampanyekan di masyarakat. Jihadis tetap mereka itu memandang ini adalah senior, ini adalah yang pernah ditangkap kasus terorisme, kalau mantan-mantan ini bisa berkampanye untuk melakukan deradikalisasi itu lebih efektif daripada orang umum yang belum tahu apa-apa tentang masalah terorisme. (bersambung)
(tribun network/denis destryawan)