Berita Bali

Terkait Tindak Pidana Pencabulan, I Wayan M yang Mengklaim Diri Sulinggih Dituntut 6 Tahun Penjara

Pria yang mengklaim diri sebagai sulinggih ini dinilai bersalah telah melakukan pencabulan terhadap korban inisial korban KYD.

Penulis: Putu Candra | Editor: Ida Ayu Suryantini Putri
Tribun Bali/Rizal Fanany
Oknum sulinggih di Bali, inisial I Wayan M (38) tersangka dugaan tindak pidana pencabulan usai menjalani pelimpahan tahap II di Kejaksaan Negeri (Kejari) Denpasar, Rabu, 24 Maret 2021. 

TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR - Jaksa Penuntut Umum (JPU) melayangkan tuntutan pidana penjara selama 6 tahun terhadap terdakwa I Wayan M (38).

Pria yang mengklaim diri sebagai sulinggih ini dinilai bersalah telah melakukan pencabulan terhadap korban inisial korban KYD.

Surat tuntutan dibacakan JPU dalam sidang yang digelar secara daring dan berlangsung tertutup untuk umum di Pengadilan Negeri (PN) Denpasar, Kamis, 20 Mei 2021.

Sebagai catatan, dalam pemberitaan sebelumnya I Wayan M disebut sebagai oknum sulinggih, tetapi kemudian diklarifikasi oleh PHDI Bali bahwa terdakwa bukan sulinggih, melainkan seorang bawati.

Baca juga: UPDATE: Majelis Hakim PN Denpasar Tolak Eksepsi Terdakwa I Wayan M yang Tersandung Kasus Pencabulan

"Surat tuntutan sudah dibacakan jaksa penuntut umum. Sidangnya digelar tertutup."

"Jaksa penuntut menuntut terdakwa dengan pidana penjara selama 6 tahun," terang Juru Bicara PN Denpasar, I Gede Putra Astawa ditemui usai sidang. 

Dijelaskannya, JPU mendakwa terdakwa I Wayan M dengan dakwaan primair, yakni Pasal 289 KUHP tentang ancaman kekerasan, atau kekerasan, memaksa untuk perbuatan cabul. 

Baca juga: UPDATE Kasus Dugaan Pencabulan Oknum Sulinggih di Bali, Besok I Wayan M Akan Jalani Sidang Online

"Dari informasi di persidangan, terdakwa melalui tim penasihat hukumnya mengajukan pembelaan tertulis."

"Nota pembelaan akan dibacakan pada sidang hari Selasa, tanggal 25 Mei 2021," jelas I Gede Putra Astawa yang juga hakim di PN Denpasar. 

Diberitakan sebelumnya, I Wayan M dilaporkan ke Polda Bali pada 9 Juli 2020 atas kasus dugaan pelecehan seksual terhadap korban KYD.

Korban diduga mendapat perlakukan cabul dari terdakwa saat melukat atau melakukan upacara spiritual pembersihan diri di Pura Campuhan Pakerisan, Tampaksiring, Gianyar, Bali, pada 4 Juli 2020 lalu. 

Baca juga: IWM Keberatan, Didakwa Terkait Tindak Pidana Pencabulan di Bali

PHDI: Bukan Sulinggih, Tapi Bawati

Sebelumnya, Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Bali akhirnya angkat bicara terkait kasus yang menyeret oknum pemuka agama tersebut.

Ketua PHDI Bali, I Gusti Ngurah Sudiana memohon agar tidak membawa nama kesulinggihan ke dalam kasus ini.

Menurutnya, setelah dilakukan penelusuran, oknum tersebut ternyata bukan sulinggih melainkan seorang bawati.

“Dari pernyataan nabe oknum di Karangasem, bahwa oknum tersebut hanya sampai di pawintenan bawati. Tidak pernah madiksa menjadi sulinggih,” tegas Sudiana kepada media di Denpasar, Senin 29 Maret 2021.

Sudiana mengungkapkan, PHDI Bali terus berkoordinasi dengan PHDI Karangasem dan PHDI Gianyar terkait kasus yang melibatkan Wayan M.

Guru besar IHDN ini, cukup hati-hati memberikan komentar karena tidak ingin hal ini mencoreng nama kesulinggihan di Bali.

“Intinya tersangka ini belum berstatus sebagai sulinggih, baru hanya pawintenan bawati saja. Oleh karena itu, media dan aparat penegak hukum di dalam proses persidangan jangan mengatakan beliau sebagai sulinggih. Sesuai dengan BAP saja,” tegas profesor ini.

Apa Itu Bawati?

Lantas, apa perbedaan sulinggih dan bawati?

Menurut Ida Rsi Bhujangga Waisnawa Putra Sara Shri Satya Jyoti, istilah bawati lebih banyak diketahui oleh maha warga Pasek.

"Tentang masalah Bawati yang paling tahu persis adalah dari maha warga Pasek, karena istilah Bawati lebih banyak dipakai oleh maha warga Pasek," jelas Ida Rsi kepada Tribun Bali, Rabu 31 Maret 2021.

Sedangkan dari pihak Brahmana (Ida bagus), dan pihak Bhujangga tidak memakai istilah Bawati.

Ida Rsi menceritakan, dahulu kala sebelum istilah Bawati dikenal, istilah yang pakai adalah Jro Gede.

Namun kemudian istilah Jro Gede ditinggalkan dan kini dikenal dengan istilah Bawati.

"Bawati sendiri masih disebut Eka Jati. Adalah orang yang akan meningkatkan diri untuk menjadi sulinggih (dwijati) nantinya," sebut ida.

Sehingga apabila seorang Bawati madwijati barulah menjadi sulinggih.

Sebelum menjadi Bawati, biasanya diawali dengan menjadi Pinandita (pemangku).

"Ketika seorang pinandita ingin meningkatkan diri untuk menjadi sulinggih, maka dia akan terlebih dulu mencari calon Nabe, dan disana ia belajar tentang kesulinggihan," jelas Ida.

Setelah mantap lalu akan diupacarai atau diwinten bawati, maka ia akan disebut Bawati.

Seorang Bawati tidak memakai udeng atau ikat kepala, tetapi dia akan mengikat rambutnya (mepusung) yang disebut 'Anyondong' yaitu mengikat rambut dengan cara 'Mepusung' dan diletakkan di belakang.

Bawati akan selalu belajar tentang tata cara kesulinggihan. Sebelum akhirnya didiksa (diupacarai) menjadi sulinggih.

Sementara sulinggih, disebut juga dwijati yang artinya orang yang lahir dua kali.

"Pertama kali lahir dari rahim ibu, dan kedua lahir dari hasil upacara podgala dari seorang nabe (guru) yang melahirkan seorang sulinggih," ucap beliau.

Jadi Bawati, adalah seorang Ekajati yang telah disucikan melalui podgala pawintenan Bawati, untuk belajar memperdalam ilmu kesulinggihan.

Ida mengatakan, bahwa rambutnya tidak boleh di gelung atau prucut di atas, tetapi rambutnya di prucut di belakang agak ke bawah (Anyondong).

Sesana yang dilaksanakan masih sesana walaka, tetapi bertahap menuju sesana kesucian, dan belajar pada orang-orang yang nantinya ia pilih sebagai nabe. (can/ask)

Berita lainnya di Berita Bali

Sumber: Tribun Bali
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved