Serba Serbi

Hubungan Suami Istri Dalam Usada Hindu di Bali

Hubungan suami istri memang ada dan dibahas dalam Usada Hindu di Bali. Adapun yang diatur adalah hari baik bersenggama

Gambar oleh Anastasiya Babienko dari Pixabay
Foto ilustrasi pasangan suami istri - Hubungan Suami Istri Dalam Usada Hindu di Bali 

Laporan Wartawan Tribun Bali Anak Agung Seri Kusniarti

TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR - Hubungan suami istri memang ada dan dibahas dalam Usada Hindu di Bali.

Adapun yang diatur adalah hari baik bersenggama, hari yang dihindari, dan bagaimana proses bersenggama sebagai orang yang teguh dalam jalan Dharma.

"Ada dua susastra yang membahas tentang ini, yaitu lontar Smakridalaksana dan lontar Rsi Sambina. Kedua lontar ini membahas tuntas tentang sanggama, sebagai bentuk yoga untuk melahirkan anak yang suputra," jelas Pendiri Pasraman Ukir, I Kadek Satria, kepada Tribun Bali, Selasa 22 Juni 2021.

Dalam teks Rsi Sambina, disampaikan bahwa sanggama yoga dimulai dengan pemanasan ringan dan pemanasan utama.

Baca juga: Penyuluh Bahasa Bali di Karangasem Konservasi Lontar yang Berusia Ratusan Tahun

Pemanasan ringan dilakukan dengan sentuhan, rabaan, suara lembut yang sama-sama dilakukan oleh pria maupun wanita.

Pemanasan utama dilakukan dengan berciuman pada daerah-daerah sensitif, satu sama lainnya sampai pada kondisi memuncak atau kenikmatan memuncak barulah dilakukan sanggama, dengan memasukan penis pada liang vagina dengan gerakan tertentu dan mantra tertentu.

Puncak sanggama terjadi jika istri merasakan getaran hebat, mendesis, tersedu, mengaduh kenikmatan, bahkan sampai menggigit dan suami mengeluarkan sperma segar.

Kemudian penjelasan dari lontar Smarakridalaksana, pada lontar ini disampaikan bahwa yoga sanggama dilakukan dengan konsentrasi pada tulang ekor.

Sebab disanalah api asmara membara, lalu dilakukan penetrasi sampai mencapai kenikmatan.

"Nah di situ Dewa Kama berada atau semua rasa ditemukan sehingga mencapai kenikmatan," jelasnya.

Adapun tahapan sanggama yoga menurut lontar ini, pertama pandangan tertuju pada kain penutup tubuh perempuan utamanya pada payudara.

Dan diantara payudara, pandangan menuju pada pusar, lalu pandangan pada dahi, ciuman mesra, memangku istri, mencium lehernya, tengkuk dan bagian erotis lainnya.

Setelah itu rebahan lalu sentuhan pada bagian erotis, hisapan, jilatan pada tubuh istri, barulah sanggama dilakukan.

Selain tata cara bersenggama, ada pula penjelasan hari baik dan yang tidak baik untuk melakukan hubungan senggama.

Baca juga: Usada hingga Lontar Penerang Cegah Hujan Turun, Ini Isi Ruang Lontar Dinas Kebudayaan Bali

Sesuai dengan isi lontar Pameda Smara.

“Hari yang tidak baik untuk bertemu (bersenggama) dengan istri, adalah pada saat hari kelahiran, Purnama, Tilem, Purwani. Itu amatlah tidak baik, karena akan terkena malapetaka dari Dewa Surya dan Dewa Candra," tegasnya.

"Hal itu, karena perbuatan yang menyamai perbuatan dari para dewata," katanya.

Serta ada juga hari lainnya, Anggara Kliwon, Budha Kliwon, Saniscara Kliwon, yakni semua hari yang disebut sebagai rerahinan.

Sehingga pada hari tersebut, semuanya tidak boleh dilanggar, apalagi untuk melakukan persenggamaan.

"Pada hakekatnya, sanggama adalah kelanjutan dari kama, dan kata kama memiliki pengertian keinginan, cinta, kasih sayang, kesenangan, indria, air mani, nama Dewa Cinta," jelas dosen UNHI ini.

Pada pengertian ini, Hindu di Bali menyebut Kama Tattwa.

Dan arti dari tattwa adalah kesejatian.

Pada posisi ini, kama itu mesti terarah dan memiliki landasan yang jelas yaitu Dharma.

Merujuk pada Catur Purusa Artha, yaitu salah satu konsep dari etika Hindu.

Disebutkan bagiannya antara lain Dharma, Arta, Kama, Moksa.

"Hal inilah disambungkan dengan Catur Asrama yaitu Brahmacari, Grehasta, Wanaprasta dan Bhiksuka," sebutnya.

Maka jika manusia mendalami, kedua konsep ini.

Keduanya amatlah berhubungan, kata dia, dimana pada saat Brahmacari maka seseorang mencari dan menguatkan Dharma.

"Lalu pada saat Grehasta, kita memenuhi dan mencari Arta, pada saat Wanaprasta kita mengurangi keinginnan, dan pada Bhiksuka kita mencapai kebebasan," jelasnya.

“Senggama pada kedua konsep ini, adalah ada pada ruang Kama dan Grehasta. Artinya pada saat Grehastalah atau menikah dan membina keluarga, Kama ini amat penting diarahkan agar sesuai dengan Dharma," sebutnya.

Ada ciri dimana Grehasta, bisa dilakukan antara lain tertuang dalam kitab Niti Sastra V. Sargah 1, yang berbunyi seperti ini.

Baca juga: Usada dan Fungsinya dalam Ajaran Agama Hindu di Bali

"Taki-taki ning sewaka guna widya, smarawi, saya rwang puluh ring anayusya, tengahi tuwuh san wacana gogonta. Patilaring atmeng tanu panguroken”.

"Artinya, seseorang wajib menuntut ilmu pengetahuan dan keutamaan, jika sudah berumur 20 tahun, maka orang itu boleh kawin. Jika setengah tua, berpeganglah pada ucapan yang baik hanya tentang lepasnya nyawa kita mesti berguru," jelasnya.

Selain itu, pernikahan sebagai salah satu syarat senggama juga mesti dinilai sakral agar tidak dijadikan permainan dikemudian hari alias kawin-cerai.

Seperti keterangan Manawa Dharmasastra IX. 101 disebutkan.

"Anyonyasyawayabhicaro
Bhaweamarnantikah
Esa dharmah samasena
Jneyah stripumsayoh parah”

"Artinya, hendaknya supaya hubungan yang setia berlangsung sampai mati, singkatnya ini harus dianggap sebagai hukum tertinggi sebagai suami istri," tegasnya.(*).

Kumpulan Artikel Bali

Sumber: Tribun Bali
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved