Berita Bali

Ihwal Pencabutan Pengayoman PHDI terhadap Sampradaya ISKCON, Begini Penjelasan Ida Pandita

Ihwal Pencabutan Pengayoman PHDI terhadap Sampradaya ISKCON, Begini Penjelasan Ida Pandita

Penulis: AA Seri Kusniarti | Editor: Widyartha Suryawan
Tribun bali/Ida Ayu Made Sadnyari
Ida Pandita Mpu Jaya Acharya Nanda. Ihwal Pencabutan Pengayoman PHDI terhadap Sampradaya ISKCON, Begini Penjelasan Ida Pandita 

Laporan Wartawan Tribun Bali, A A Seri Kusniarti

TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR – Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Pusat, mengeluarkan dua lembar surat, dengan Nomor 374/PHDI Pusat/VII/2021 pada 30 Juli 2021 di Jakarta.

Surat tersebut perihal ‘Pencabutan Surat Pengayoman’ yang ditujukan ke Ketua Umum ISKCON-Indonesia dan Ketua Umum Dewan Pengurus ISKCON. 

Isinya, merujuk keputusan pesamuhan sabha pandita PHDI Nomor:01/KEP/SP PHDI Pusat/VII/2021 pada tanggal  30 Juli 2021 yang pada intinya tentang rekomendasi pencabutan surat pengayoman sampradaya.

“Maka dengan ini kami mencabut  dan menyatakan tidak berlaku surat pengurus harian PHDI Pusat Nomor: 351/Parisada P/VIII/2009 tanggal 31 Agustus 2009,” jelas Ketua Umum Pengurus Harian PHDI Pusat, Mayjen TNI (PURN), Wisnu Bawa Tenaya, dalam surat tersebut.

Lantas, apa makna pengayoman dan pencabutan pengayoman PHDI terhadap sampradaya atau dalam hal ini Internasional Society for Krishna Consciousness (ISKCON)?

Ida Pandita Mpu Jaya Acharya Nanda selaku satu diantara sulinggih dalam sabha pandita PHDI Pusat turut menjelaskan hal ini.

Ida Pandita menjelaskan, sebelumnya pengayoman PHDI tersebut adalah berupa pengakuan terhadap sampradaya yang tertuang dalam AD/ART PHDI.

Ilustrasi - Prosesi melasti Hindu di Bali.
Ilustrasi - Prosesi melasti Hindu di Bali. (Tribun Bali/Nyoman Mahayasa)

“Nah ini berarti dia (sampradaya), adalah perwakilan parisada, jadi di parisada kala itu ada juga orang-orang aliran Hare Krishna (HK) atau sampradaya lainnya,” jelas Ida Pandita kepada Tribun Bali, Senin 2 Agustus 2021.

“Ketika diundang di mahasabha, pasti dia (anggota sampradaya) terpilih juga sebagai anggota kepengurusan parisada,” tegasnya.

"Untuk itu, akhirnya disepakati ketika pesamuhan agung kemarin untuk tidak lagi melibatkan sampradaya, khususnya setelah pencabutan tersebut,” tegas beliau.

Sulinggih yang juga akademisi ini menegaskan, agama vertikal sah-sah saja dianut oleh semua orang.

Apalagi negara menjamin kebebasan beragama setiap umatnya.

“Tetapi agama dalam aspek sosial, kultur atau budaya ini kan, ada sesuatu yang tidak cocok dengan sampradaya. Karena bagaimanapun saya dalam samuan sabha pandita kemari  menjelaskan hal tersebut layaknya berburu di kebun binatang,” sebut Ida Pandita.

Dijelaskan, semua keputusan di parisada ada mekanismenya dan berdasarkan mufakat yang dipikirkan matang.

Termasuk terkait pencabutan pengayoman sampradaya yang sempat menjadi perbincangan di masyarakat.

Menurut Ida Pandita, sampradaya memiliki grand design dan narasi besar tersendiri dalam menjalankan ajarannya. 

Sampradaya pun selama ini dilihat memiliki agenda internasional, karena memiliki lembaga induknya masing-masing.

“Agama dalam aspek teososiologi itu kan tidak hanya urusan agama, juga bagaimana manusia berhubungan dengan Tuhan secara vertikal dan lainnya. Ketika dia (sampradaya) bersama-sama akan mengajak orang lain, entah bagaimana caranya. Tentunya melihat situasi dan secara kelembagaan kita melihat sampradaya ini, lebih banyak agenda internasionalnya karena ada induknya masing-masing,” kata Ida Pandita.

“Minimal ada pernyataan ‘menghindukan orang Hindu’, ini kan berarti selama ini orang Hindu belum Hindu,” tegas beliau.

Sampradaya selama ini juga dikenal gencar dalam penyebaran kitab yang mereka percaya. Menurut Ida Pandita, hal itu sebenarnya tidak menjadi masalah karena kitab adalah benda mati.

Tetapi yang menjadi masalah adalah ketika tafsir atas isi kitab tersebut yang berbeda-beda. Penafsir yang masih hidup itu, kemudian menyebarluaskan tafsirnya dan membuat kerancuan.

Pola seperti itu miripgerakan zaman misionaris atau mengajarkan penyebaran agama kepada seluruh orang di dunia.

Jika selama ini Hindu di Indonesia bersifat klasik khas Nusantara, maka sampradaya menggunakan pola post modern yang siap saji.

“Jadi ini tentu akan berbeda dengan agama kita (Hindu), yang bersifat klasik kenusantraaan. Agama kita lebih banyak ke agama pola lama,” jelas ida.

“Makanya saya sebut ada sosiologi makro dan mikro, karena ketika masuk ke budaya post modern yang diawali dengan modern tentu efisiensi praktis itu yang menjadi marwah mereka,” tegas Ida Pandita.

Mulat Sarira
Terkait kisruh keberadaan sampradaya dalam tubuh Hindu di Indonesia, khususnya Bali, Ida Pandita meminta umat Hindu di Bali juga harus mulat sarira (introspeksi diri).

Hal itu penting dilakukan untuk bisa memperkuat pertahanannya di Bali dan Nusantara.

Tak hanya itu, keberadaan desa adat di Bali juga seharusnya bisa melembagakan ajaran-ajaran Hindu Bali yang dianut.

Oleh karena itu, desa adat juga perlu mengambil peran dalam upaya memahami atau memaknai ajaran-ajaran Hindu Bali di masyarakat.

“Jadi ketika beradat di desa adat, sejauh mana adat itu bisa 100 persen dilembagakan di dalam ajaran yang mereka anut. Kan itu dulu masalahnya. Karena kalau kita bicara masalah adat-istiadat itu, masalah pranata di wilayah kebudayaan agama. Karena bagaimanapun bicara masalah agama tidak lepas dari budaya dalam Hindu di Bali,” kata Ida.

“Agamanya memberi makna, dan budaya memberi bentuk,” tegas Ida Pandita.

Ketika berbicara makna, kata Ida, maka kita juga berbicara masalah nilai. Nilai kemudian diturunkan menjadi kerangka berpikir, baik sebagai sebuah tata pikir, tata laku, dan tata sarana Hindu di Bali.

Ilustrasi - Umat Hindu di Bali saat sembahyang.
Ilustrasi - Umat Hindu di Bali saat sembahyang. (Tribun Bali/Rizal Fanany)

“Kita kan juga sudah banyak berubah di Bali, contohnya bagaimana banten gebogan sekarang berisi minuman kaleng dan hal yang bersifat moderen,” jelas ida.

Kata Ida, itulah pertanda bahwa agama Hindu bersifat dinamis dan fleksibel, tetapi harus tetap mempertahankan nilai luhur adiluhung warisan nenek moyang atau leluhur.

Artinya meskipun mengikuti perkembangan zaman yang dinamis, tetap mengacu kepada nilai-nilai tattwa dan Panca Sradha sebagai dasar keyakinan Hindu di Bali dan Nusantara. 

Ida Pandita juga mengingatkan agar tidak alergi dengan perubahan, asalkan paham pakem dan batasannya. Hal ini sesuai dengan ajaran Tri Kona, yaitu terdiri dari Utpti (pencipta), Stiti (pemelihara), dan Pralina (pelebur).

“Nah ciptakan yang memang harus diciptakan, demi kelangsungan nilai spirit agama Hindu. Kemudian memelihara yang masih cocok dan penting dilakukan, apalagi kalau memang itu dibutuhkan. Dan dipralina atau dilebur hal yang tidak cocok lagi dengan perkembangan zaman,” tegas sulinggih dari Gianyar ini.

“Kita waktu lahir dibuatkan otonan, sambutan, celemik bengor, porosan dan lainnya. Mari apa yang telah diinvesatsikan leluhur kita itu dilestarikan oleh generasi penerusnya. Mari pulang kampung lagi, yang telah lama berkelana dan jangan pindah ke lain hati,” ucap beliau. (*) 

Sumber: Tribun Bali
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved