Wawancara Tokoh
Bincang dengan Yenny Wahid, Lemas dan Gemes Lihat Garuda
Zannuba Ariffah Chafsoh Rahman Wahid atau yang kerap disapa Yenny Wahid mengungkap awalnya sempat tidak mau menerima
Ada cucu perusahaan yang nggak jelas ini ngapain dan melakukan apa.
Untuk cucu-cucu perusahaan Garuda nasibnya bagaimana?
Memang harus direstrukturisasi karena tidak bisa jalan juga. Tidak jelas model bisnisnya dan lagi cost-nya tinggi.
Harus disubsidi terus, ini kan tidak boleh. Lebih baik kita streamline aja semuanya.
Kemudian bisnis kargo harus jadi refocus.
Sekarang karena pandemi orang fokus kirim-kirim barang. Ini lucrative jadi punya potensi besar.
Sekarang sudah naik dari target kita.
Kita genjot betul kargo.
Ke depan akan ada pesawat penumpang yang diubah khusus untuk kargo.
Apakah saran, masukan, pengawasan yang dilakukan komisaris di Garuda selama ini efektif dan didengarkan oleh direksi atau tidak?
Itu pertanyaannya harus ke direksi.
Tetapi bahwa memang sebetulnya bisa lebih ditingkatkan lagi.
Ada banyak sekali catatan-catatan yang kita berikan.
Lalu ada beberapa hal yang sempat disampaikan dewan komisaris yang kalau saja itu dijalankan lebih tepat waktu oleh direksi maka dampaknya akan lebih baik, terutama di masa pandemi, kerugiannya akan lebih kecil dibanding dengan kerugian yang dialami sekarang.
Jadi plan besar atau blueprint menghadapi pandemi ini, asumsi-asumsi yang harus diambil, yang harus dijadikan dasar pengambilan pembuatan bisnis planning kemudian langkah-langkah yang harus dilakukan segera.
Misal renegosiasi dengan lessor itu memang kita suka nyubit-nyubit direksi sih supaya bisa lebih cepat lagi, lebih banyak lagi, bisa lebih galak lagi kalau negosiasi dengan lessor.
Bisa lebih dikuatkan lagi.
Dari dewan komisaris kami membantu, bukan cuma sekedar mengingatkan, walaupun kita tidak bisa melakukan eksekusi, fungsinya juga mengawasi dan mengingatkan, ya memberikan arahan, tapi banyak hal yang kita lakukan untuk memfasilitasi juga.
Langkah koordinasi dengan penegak hukum apa saja yang sudah dilakukan?
Ada dua tujuannya internal dan eksternal.
Tujuan internal memberikan pesan yang kuat bahwa tidak boleh ada lagi hengki pengki di dalam Garuda.
Semua harus transparan, menegakkan GCG. Semua jelas tidak ada aneh-aneh.
Nggak boleh lagi tuh menyelundupkan Brompton. Secara internal itu nggak boleh main kargo lagi.
Kalau ke eksternal kita memberikan pesan ke lessor bahwa pesawat yang disewakan ke kami punya muatan KKN.
Kalau kita teruskan kamu juga bisa kena ada konsekuensi hukumnya juga ke kalian.
Untuk masalah Rolls Royce itu masuk ke ranah Kementerian Kehakiman United Kingdom.
Kemudian pemerintah Inggris bertindak juga dan didenda.
Dalam catatan, ada 36 lessor yang berhubungan dengan Garuda.
Sebagian diantaranya adalah lessor bermasalah karena mematok harga terlalu tinggi lalu ada unsur kickback. Kickback atau praktik yang tidak bagus ini dimulai sejak kapan?
Waduh sudah lama ya. Sudah lama sekali.
Jadi ini warisan dari masa lalu ya? Bukan karena direksi yang sekarang?
Ya betul.
Karena misalnya kita punya beberapa pesawat namanya CRJ Bombardier.
Pesawat ini nggak cocok sama landscape Indonesia.
Bahasa mudahnya kalau diterbangkan kita rugi, apalagi diparkir lebih rugi lagi.
Diterbangkan saja, full capacity itu rugi. Apalagi diparkir, sudah bayar sewa, maintenance, bayar parkir lah macam-macam.
Nah kita mau mengembalikan kan susah.
Kita ada beberapa pesawat yang seperti ini, dan sampai sekarang masih jadi beban.
Ibaratnya punya perusahaan mikrolet, tapi mobilnya Lexus dan harus dicicil tiap bulan.
Menurut pengetahuan Anda, ngapain sih beli sesuatu yang nggak cocok? Apa ada pressure dari pihak lain supaya dapat sesuatu?
Itu saya tanya malaikat dulu ya, karena saya juga nggak tahu jawabannya kenapa itu.
Tapi kan itu problemnya Indonesia, pengadaan barang yang tidak sesuai dengan kebutuhan.
Terjadinya memang sudah lama, bertahun-tahun sebelum saya masuk Garuda tapi bayangkan dampaknya sampai sekarang, bagaimana coba.
Ada analisa bahwa inefisiensi di Garuda karena banyak jenis pesawat yang dipakai, sehingga tidak efisien, pilotnya harus khusus, tidak mungkin diganti-ganti. Apa betul?
Pilot bukan seperti pengemudi mobil yang bisa pakai mobil sedan juga bisa pakai mobil merek lainnya.
Kalau pilot sudah pegang Boeing, ya punya spesialisasi.
Kalau harus pegang ATR itu beda lagi, harus training lagi dan nggak sebentar trainingnya.
Nah begitu pesawatnya nggak ada, dan problem Garuda saat ini adalah human resources.
Jumlah pegawai yang banyak sekali dan ketika pesawatnya nggak ada karena sebagian dikembalikan, pilotnya masih ada dan ratusan juga.
Jadi problem-problem macam ini kan harus dituntaskan semua. Jadi strategi human resourcesnya itu harus jelas mereka mau dialihkan untuk apa. (tribun network/Vincentius Jyestha)
Kumpulan Artikel Wawancara Tokoh