Serba serbi

Mitologi Saraswati dan Hakekat Kebodohan Dalam Kisah Hindu

Perayaan hari suci Saraswati bukan hanya perayaan untuk anak sekolah. Namun hari suci ini memiliki makna yang sangat utama, di dalam kehidupan umat

Tribun Bali/AA Seri Kusniarti
Kitab Sarasamuccaya sebagai salah satu sumber ilmu pengetahuan selain buku lainnya yang biasanya diupacarai saat Saraswati. 

Laporan Wartawan Tribun Bali, A A Seri Kusniarti

TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR - Perayaan hari suci Saraswati bukan hanya perayaan untuk anak sekolah.

Namun hari suci ini memiliki makna yang sangat utama, di dalam kehidupan umat Hindu di Bali.

Hari suci yang jatuh setiap enam bulan sekali, tepat pada Saniscara Umanis Watugunung ini, memiliki makna filosofi bagaimana ilmu pengetahuan mampu menerangi kehidupan dan memerangi kebodohan. 

Seperti tertulis di dalam kitab Sarasamuccaya sloka 399, 'Tunggal keta paramarthaning satru ngaranya, nghing si punggung juga, tan hana ta pwa madana kasaktining punggung, apan iking liniput denika, niyata juga ya gumaweng asubhakarma'.

Kutipan sloka ini berarti bahwa hanya satulah kebodohan saja; tidak ada yang menyamai pengaruh kebodohan itu, sebab orang yang dicengkram oleh kebodohan itu, niscaya, ia akan melakukan perbuatan yang buruk. 

Baca juga: Sarana Upakara Hari Saraswati, Berikut Sesajen Paling Nista Menurut Lontar Sundarigama

Selain sloka tersebut, ada beberapa sloka lagi yang membahas ihwal kebodohan dan dampak buruknya bagi kehidupan umat manusia. Seperti pada sloka 400, yang bunyinya 'Apan ikang sukhaduhkha kabhukti, punggung sangkanika, ikang punggung, kalobhan sangkanika, ikang kalobhan, pungung sangkanika, matangnyan punggung sangkaning sangsara'.

Kutipan ini berarti, sebab suka duka yang dialami, pangkalnya adalah kebodohan; kebodohan ditimbulkan oleh loba, sedang loba (keinginan hati) itulah kebodohan asalnya; oleh karenanya kebodohanlah asal mula kesengsaraan itu. 

Ada pula catatan di bawahnya, bahwa kesengsaraan ini hendaknya pula ditafsirkan keadaan lahir dan mati.

Sebab pada dasarnya reinkarnasi atau samsara, adalah memang membayar karmaphala atau hasil perbuatan di masa lampau, kini, dan nanti.

Untuk itu, kebodohan ini yang harus dilenyapkan agar umat manusia tahu membedakan mana yang baik dan buruk.

Mana yang pantas dan tidak pantas dilakukan. Serta bagaimana berjalan di atas jalan kebenaran (Dharma) sesuai yang diajarkan di dalam kitab suci Weda untuk umat Hindu. 

Hakekat kebodohan ini, kemudian diturunkan ke dalam sebuah mitologi atau kisah mitos yang dikenal masyarakat secara turun-temurun.

Kisah itu adalah kisah I Watugunung yang sombong, hingga menikahi ibunya sendiri. Kisah ini, sudah ada sejak lama di tengah-tengah masyarakat Hindu khususnya di Bali.

Di mana di Kerajaan Jalasanggara, Dewi Sinta hidup damai dengan madunya Dewi Landep. Mereka berdua bersama-sama memimpin kerajaan tersebut, setelah sang raja pergi untuk bertapa dalam waktu yang lama. 

Baca juga: Makna Dewi Saraswati di Dalam Weda Menurut Keyakinan Hindu

Raja Dang Hyang Kulagiri, yang pergi ke hutan untuk bertapa lama tidak kembali.

Hingga Dewi Sinta yang hamil, melahirkan anak bernama Raden Wudug atau Redite.

Suatu hari anak ini pun pergi dari kerajaan itu, karena sakit hati setelah dipukul sang ibu dengan alat pengaduk nasi.

Pukulan itu membuat kepala sang anak mengeluarkan darah, dan menimbulkan luka di kepala serta hatinya.

Dewi Sinta dan Dewi Landep sangat sedih atas kepergian putranya ini. 

Raden Wudug yang mengembara hingga ia dewasa, tentu melupakan banyak kenangan masa kecilnya.

Termasuk kenangan dipukul sang ibu hingga meninggalkan bekas luka di kepalanya.

Ia juga sejatinya mencari sang ayah, yang tidak ditemukan dari masa ke masa.

Raden Wudug kemudian bertapa di gunung, dan mendapatkan anugerah dari dewata.

Ada beberapa versi kisah mitos ini, diantaranya ada yang menyebutkan bahwa Raden Wudug lahir di atas batu sehingga namanya dikenal I Watugunung

Ada pula yang menyebutkan, bahwa karena tapa bratanya di hutan dan gunung maka ia dianugerahi kesaktian dan diberi nama I Watugunung atau Sang Watugunung.

Kala itu, ia mendapatkan anugerah kesaktian bisa mengalahkan 27 orang raja sesuai dengan permohonannya kepada dewa.

Di sinipun ada berbagai versi, ada yang menyebutkan Dewa Siwa dan ada yang menyebutkan bahwa anugerah tersebut diberikan oleh Dewa Brahma. 

Tentu saja setiap kekuatan memiliki kelemahan, begitu juga dengan kekuatan Sang Watugunung. Disebutkan bahwa dari kekuatan dahsyatnya, ia bisa dikalahkan oleh seseorang yang bertriwikrama atau berwujud kura-kura.

Watugunung yang jumawa dengan kekuatannya, keluar masuk desa guna membuktikan kesaktiannya. Kekuatan tanpa pengetahuan yang mumpuni, dan akal budi serta nurani membuat Watugunung lupa diri. 

Melihat gadis cantik, ia menariknya walau gadis itu menolak. Tak ada yang bisa melawan Watugunung, karena kekuatan dan kesaktiannya.

Raja Ukir kemudian mendapatkan laporan, atas sikap semena-mena Watugunung ini.

Namun akhirnya Raja Ukir pun bisa dikalahkan. Keberhasilan ini membuat Watugunung kian lupa diri, dan ia menjajah 26 raja lainnya, dimana semuanya berhasil ditaklukkan. 

Sampailah ia di Kerajaan Jalasanggara, yang merupakan tempatnya lahir.

Namun Watugunung telah lama lupa asal-usulnya itu, sebab ia pergi saat masih kecil. Dewi Sinta dan Dewi Landep pun tidak tahu, bahwa Watugunung adalah Raden Wudug yang tak lain anak mereka sendiri. Sampai akhirnya, kedua dewi dijadikan permaisurinya.

Dikisahkan, suatu hari Dewi Sinta sedang bercengkrama dengan Watugunung

Ia mengelus kepala Watugunung, dan tanpa sadar melihat bekas luka di sana.

Tak pelak hal ini membuatnya sangat terkejut, sebab bekas luka itu mirip seperti bekas luka pada anaknya terdahulu Raden Wudug yang ia pukul. Hancur luluh lantak hati Dewi Sinta, saat mengetahui anaknya sendiri adalah suaminya.

Watugunung yang melihat Dewi Sinta bersedih, berusaha menenangkannya dan berkata akan memberi apa saja sesuai kehendak Dewi Sinta. 

Dewi Sinta yang berkecamuk, di dalam hatinya bertekad pernikahan ini harus dihentikan.

Sebab sangatlah tidak pantas dan penuh dosa, menikahi anaknya sendiri.

Dewi Sinta akhirnya menanyakan kelemahan Watugunung, dengan dalih sangat kagum akan kesaktiannya. Watugunung tanpa segan mengatakan, bahwa ia tidak bisa dikalahkan oleh siapapun kecuali oleh orang yang bisa bertriwikrama. 

Suatu hari, Dewi Sinta terpikirkan ide agar perkawinannya dengan Watugunung bisa diakhiri. Ia meminta agar Watugunung memperistri Dewi Nawang Ratih, yang tak lain adalah sakti dari Dewa Wisnu.

Watugunung menitahkan Sang Warigadean membawa surat kehadapan Dewa Wisnu.

Tentu saja Dewa Wisnu yang marah langsung menolak surat ini. Tak terima akhirnya Watugunung memerangi Dewa Wisnu, hingga mereka berperang sengit. Namun tak dapat dipungkiri, para dewa cukup kewalahan melawan Watugunung

Bhagawan Wrehaspati membantu Dewa Wisnu, dengan menyelidiki kelemahan Watugunung.

Kemudian diutuslah Sang Lumanglang, untuk menyelidikinya. Sang Lumanglang berubah menjadi laba-laba dan masuk ke peraduan Sang Watugunung. Di sanalah ia mendengar obrolan Sang Watugunung dengan Dewi Sinta, sekaligus mengetahui kelemahannya. 

Keesokan harinya, Sang Watugunung kembali datang bersama bala pasukan prajuritnya untuk menyerbu Dewa Wisnu ke Wisnuloka. Di sinilah Dewa Wisnu bertriwikrama menjadi kura-kura lalu menyerang Watugunung.

Hingga tepat pada Minggu Kliwon, Sang Watugunung terbunuh dan mayatnya jatuh ke bumi. Maka dikenallah hari itu sebagai hari Watugunung Runtuh. 

Namun karena kasihan, Dewa Siwa memohon dan menghidupkan kembali Watugunung.

Dewa Wisnu bersedia menghidupkan kembali, asal diturunkan derajatnya menjadi urutan terakhir di dalam pawukon (wuku).

Dan setiap 210 hari sekali, ia akan mati atau runtuh. Dari sinilah, Dewa Siwa bersadba bahwa seterusnya tidak boleh menikah dengan anak kandung dan tidak boleh menikahi istri orang lain. Apabila dilanggar neraka akibatnya. 

Tepat pada Sabtu Umanis, para dewa mulai menyusun nama-nama raja yang telah dikalahkan Watugunung untuk menjadi wuku yang jumlahnya 30 wuku. Mulai dari Sinta, Landep, hingga berakhir di Wuku Watugunung.

Dari sini pula muncul ilmu pengetahuan tentang hari baik (dewasa), perpaduan antara wuku dengan Pancawara, Saptawara, dan wewaran lainnya. Serta dikenal pula sebagai hari turunnya ilmu pengetahuan melalui sinar suci Dewi Saraswati. 

Untuk mencerahkan hidup umat manusia melalui ilmu pengetahuan agama dari Weda.

Sehingga umat manusia mampu membedakan baik dan buruk, mampu memilahnya agar terhindar dari dosa dan karma buruk.

Kekalahan Watugunung adalah simbol dari hilangnya kebodohan, lalu kemudian diisi dengan ilmu pengetahuan dari Dewi Saraswati sebagai salah satu manifestasi Tuhan. (*)

Artikel lainnya di Serba serbi

Sumber: Tribun Bali
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved