Serba Serbi
Sulinggih Lebar, Berikut Prosesi Pelebonnya dalam Masyarakat Hindu Bali
Prosesi upacara lebar (meninggal) seorang sulinggih berbeda dengan walaka (orang biasa), karena seorang sulinggih telah terlebih dulu melaksanakan
Penulis: AA Seri Kusniarti | Editor: Wema Satya Dinata
Disamping itu apabila dipaksakan untuk diaskara, siapa yang berhak atau boleh melakukan, karena yang bisa atau yang boleh melakukan pengaskaran seorang sulinggih hanyalah Nabe Napaknya saja.
"Kita ketahui biasanya kalau sulinggih nanak lebar (wafat), sulinggih nabenya biasanya lebih duluan sudah lebar (wafat) karena faktor usia, sehingga biasanya saat nanak lebar, nabe sudah tidak ada, sehingga mustahil dilakukan pengaskaran apalagi saat madiksa proses pengaskaran sudah dilaksanakan," jelas beliau.
Pengabenan sulinggih ada sedikit berbeda dengan proses Pengabenan walaka.
Dimana sulinggih saat lebar (wafat) tidak dilakukan penguburan, tetapi langsung dilakukan upacara pelebuan (pengabenan).
Sedang walaka apabila meninggal, boleh langsung melakukan pengabenan dan boleh melakukan penguburan untuk menunggu saat upacara pengabenan dilaksanakan.
"Yang menjadi fenomena, sering terjadi pengabenan untuk sulinggih dilakukan besar-besaran. Dimana upacara banten dan bade/pemeremannya atau juga petualangannya cukup besar dan megah, dengan alasan sang sulinggih akeh meduwe sisia dan sang sulinggih perlu dihormati lebih dari walaka," kata beliau.
Namun secara pribadi, Ida Rsi pribadi berpendapat sedikit berbeda.
Menurut beliau, seorang sulinggih saat lebar/wafat, tidak perlu membuat upacara dan sarana upakara yang besar apalagi yang megah.
Cukup upacara pelebuan/pengabenan seorang sulinggih yang sangat sederhana dan lebih sederhana dari pengabenan seorang walaka karena ada beberapa alasan.
Yaitu seorang sulinggih sebenarnya sebelum meninggal/lebar, beliau telah dilakukan upacara pengabenan, hal ini dibuktikan saat upacara madwijati, dimana dengan adanya upacara seda raga (mati raga), dan pengaskaran dilakukan.
Baca juga: Skema Ngaben Massal 291 Sawa di Bangli, Jumlah Krama Batur Dibatasi & Wajib Swab
Seorang dwijati, sebenarnya adalah perjalanan seseorang dari konsep ramia (rame-rame/hura-hura), menuju ke konsep sunia (sepi/hening), sehingga upacara besar tidak perlu ada.
Karena seorang Sulinggih yang benar-benar mengabdi kepada kesucian, harus lepas dengan konsep material karena akan lebih banyak menuju kepada konsep spritual (hening).
Jadi menurut Ida Rsi secara pribadi, sebenarnya konsep pengabenan/pelebuan seorang sulinggih sepatutnya berbeda dari pengabenan seorang walaka, bahkan lebih sederhana dan lebih simpel dari upacara pengabenan walaka.
"Bahkan Ida Rsi mengamanatkan kepada pratisentana titiang sendiri untuk pelaksanaan pada diri Rsi saat dipanggil oleh yang Maha Kuasa," imbuh beliau. (*)
Artikel lainnya di Serba Serbi