Berita Bali
Kisah Ida Pedanda Gede Genitaen Sanur Saat Masih Walaka hingga Menjadi Sulinggih Semasa Hidup
Lamanya palebon beliau, menyesuaikan dengan desa, kala, patra, dan tentunya hari baik atau dewasa ayu yang dikenal di Bali sejak dahulu
Penulis: AA Seri Kusniarti | Editor: Wema Satya Dinata
Setelah narpana saji ini selesai, maka dua proses Tri Kona sudah dilaksanakan yaitu pada bagian Utpeti dan Sthitinya saja.
Sedangkan proses Pralina belum terlaksana, karena belum ada proses peleburan terhadap layon melalui pembakaran.
Sehingga diperlukan hari dan waktu yang baik, agar upacara berlangsung lancar dan sesuai dengan ajaran agama yang baik dan benar.
Tak dapat dipungkiri, bahwa sosok seorang ida ratu pedanda memang memiliki fungsi penting di tengah masyarakat Hindu Bali. Termasuk Ida Pedanda Gede Genitaen Sanur ini.
Gusya mengulas sedikit, kisah beliau semasa hidupnya.
"Ratu pedanda terlahir dengan nama walaka Ida Bagus Alit Kamajaya, dari 9 bersaudara dan beliau anak ke-7. Beliau lahir di Karangasem tanggal 2 November 1954," sebutnya.
Tahun 1963 tatkala Gunung Agung meletus, masyarakat Karangasem mengungsi ke beberapa daerah, bahkan ada yang sampai ke luar Bali. Saat itu, Ida pedanda merantau ke Sanur, Denpasar.
Kebetulan pula di Sanur sempat beberapa tahun beliau menetap di Griya Sanur, apalagi masih ada hubungan semeton (saudara).
Tak lama kemudian, beliau mencoba peruntungan ke Kuta. Sejak tahun 1973, beliau bekerja di dunia pariwisata. Bahkan sempat pula membuka restoran.
"Sebelum memutuskan dan terpilih menjadi sulinggih, ida seperti walaka pada umumnya. Yang melayani masyarakat menjadi sangging, memandikan layon (jenazah), hingga menjadi bangke matah dalam upacara Calon Arang di Kuta," jelas Gusya.
Baca juga: Padewasan Perkawinan dalam Ajaran Hindu Bali, Berikut Penjelasan Ida Pedanda Gede Buruan
Dari sinilah, beliau kian dikenal oleh banyak masyarakat di Kuta. Kemudian pada tahun 2014, beliau didiksa menjadi sulinggih. Dan lebar pada tanggal 24 Agustus 2021.
Bahkan setelah malinggih menjadi sulinggih, beliau juga masih aktif di organisasi Dharma Ghosana se-Nusantara.
Di dalam organisasi tersebut, ida juga sempat ikut menyumbang pikiran dalam menyusun buku bertajuk 'Ngaben Alit Sattwika'.
Kala itu, Bupati Badung, Nyoman Giri Prasta, meminta para sulinggih menyusun buku pengabenan alit untuk masyarakat Badung.
"Sisanya ya beliau seperti sulinggih pada umumnya, menjadi pemimpin umat dalam mengajarkan agama. Lalu muput karya, muput upakara dan upacara orang menikah, meninggal, maoton, mabayuh, matatah, malukat dan lain sebagainya," sebut Gusya.