Berita Bali
Kisah Ida Pedanda Gede Genitaen Sanur Saat Masih Walaka hingga Menjadi Sulinggih Semasa Hidup
Lamanya palebon beliau, menyesuaikan dengan desa, kala, patra, dan tentunya hari baik atau dewasa ayu yang dikenal di Bali sejak dahulu
Penulis: AA Seri Kusniarti | Editor: Wema Satya Dinata
Bahkan dahulu, kata dia, kerap pada hari raya Saraswati banyak yang melaksanakan pawintenan massal tanpa dipungut biaya.
Gusya mengatakan, sosok beliau jarang bercerita tentang diri sendiri kepada keluarga.
Gusya mendengar banyak kisah beliau dari para sisya, pamedek yang tangkil, dan kolega beliau semasa welaka. Pernah suatu saat, ada pemangku dari Tuban menghaturkan teteken ke ida.
"Konon teteken itu panjang lalu dipotong menjadi dua, dan pemangku itu mengambil bagian belakangnya atau ekornya," sebut Gusya.
Bagian kepala teteken dihaturkan ke ida pedanda. Perlu dijelaskan, teteken adalah tongkat yang sering dibawa oleh para sulinggih.
Kisah lainnya, diceritakan semetonnya yakni pada saat ida pedanda madiksa. Kala itu, ida pedanda madiksa dengan dua pasang calon sulinggih lainnya. Sehingga total yang madiksa adalah enam orang (lanang-istri).
"Entah darimana datangnya, ada sinar dari merajan pusat di Karangasem, dan ida pedanda yang lebar yang mendapat sinar itu," jelasnya.
Ada pula pemangku yang menghaturkan batu putih, sejenis Soca Segara.
Kemudian ada yang memberi beliau caling atau taring, dengan tiga batu berjejer di dalamnya. Batu itu melambangkan Brahma, Wisnu, Iswara atau Siwa. Karena berwarna merah, putih dan hitam (Tri murti).
Memang Ida pedanda dengan tiga orang putra-putri ini, kerap diberikan sesuatu yang unik dari seseorang. Termasuk ada orang Cina yang memberi cincin pada beliau.
Kisah lainnya, ada yang belum memiliki keturunan, namun setelah malukat ke griya dan dibantu doa serta upakara oleh ida pedanda. Tak lama kemudian, akhirnya pasangan itu memiliki anak.
"Waktu itu pasangan tersebut malukat ke griya," katanya.
Karena itu, pasangan tersebut akhirnya setiap mengupacarai sang anak baik dari 1 bulan 7 hari sampai seterusnya dilakukan di griya.
"Tetapi tentu semua atas kehendak Ida Sang Hyang Widhi Wasa," tegas Gusya. (*)
Artikel lainnya di Berita Bali