Serba serbi

Makna Filosofi Ngarebuin Saat Rahinan Sugihan

Rerahinan sugihan, jatuh pada hari Kamis dan hari Jumat wuku Sungsang.

AA Seri Kusniarti
Ida Rsi Bhujangga Waisnawa Putra Sara Shri Satya Jyoti 

Laporan Wartawan Tribun Bali, Anak Agung Seri Kusniarti

TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR - Rerahinan sugihan, jatuh pada hari Kamis dan hari Jumat wuku Sungsang.

Sugihan yang jatuh pada hari Kamis Pon wuku Sungsang disebut rerahinan Sugihan Jawa, sedangkan sugihan yang jatuh pada hari Jumat Kliwon wuku Sungsang disebut rerahinan Sugihan Bali

Jatuhnya Sugihan Jawa adalah enam hari sebelum rerahinan jagat Galungan, sedangkan Sugihan Bali jatuhnya lima hari sebelum Galungan.

Baca juga: Roh Leluhur dan Para Dewa Turun ke Bumi, Berikut Ini Makna Sugihan Jawa dan Sugihan Bali 

"Hari raya Galungan, adalah hari raya yang terbesar dan terpenting dalam hari raya suci umat Hindu di Bali," sebut Ida Rsi Bhujangga Waisnawa Putra Sara Shri Satya Jyoti kepada Tribun Bali, Selasa 2 November 2021. 

Zaman dahulu, kata beliau, sekitar tahun 1970 ke bawah, hari raya Galungan sangat dinanti-nantikan oleh umat Hindu di seluruh pelosok Pulau Dewata.

Sebab hari raya Galungan adalah hari yang sangat disucikan, dan dirayakan dengan suka cita serta meriah sekali. 

Sebulan sebelum Galungan tiba, umat Hindu di Bali sudah mulai bersiap-siap untuk menyambutnya.

Orang-orang tua sudah siap siaga, dengan rasa suka citanya mempersiapkan segala kebutuhan untuk menyambut Galungan.

Sedangkan anak-anak sangat sumeringah menantikan hadiah baju atau pakaian baru untuk menyambut Galungan. 

Baca juga: Tradisi Pesamsaman Desa Adat Kubu Bangli Saat Sugihan Jawa, Upacara Penyucian Bagi Warga Usai Cerai

Itulah gambaran betapa antusiasnya umat Hindu di Bali saat menyambut datangnya hari raya suci Galungan.

Hal ini terjadi karena Galungan adalah hari yang sangat disucikan, dan selalu memberikan kedamaian pada umat Hindu di Bali. 

"Karena hari Galungan sangat disucikan dan dikeramatkan, maka harus disambut dengan suasana yang bersih dan tentram baik dari segi sekala dan niskala, atau kebersihan dan kesucian dunia ini (bhuana agung), dan kesucian diri sendiri (bhuana alit)," ucap beliau. 

Pembersihan atau penyucian bhuana agung dan bhuana alit untuk menyongsong hari Suci Galungan disebut rahinan sugihan.

Apa itu rahinan sugihan?. Berikut penjelasan Ida Rsi Bhujangga Waisnawa Putra Sara Shri Satya Jyoti. 

Lanjut beliau, kata sugihan datang dari berbagai dan beberapa pendapat.

Ada yang mengatakan dari kata 'Sugi' yang berarti membersihkan. Dari kata tersebut maka sugihan berarti membersihkan alam sekala dan alam niskala. 

Oleh karena itu ada dua sugihan, yaitu Sugihan Jawa dan Sugihan Bali.

Anggapan yang mengatakan bahwa orang yang merayakan Sugihan Jawa, dulunya berasal dari Jawa dan yang merayakan Sugihan Bali, adalah orang yang berasal asli Bali. Adalah anggapan  yang keliru atau tidak benar. 

Sebab arti Sugihan Jawa sebenarnya adalah pembersihan yang berada di luar, karena arti kata Jawa adalah berasal dari kata jaba yang berarti di luar.

Sehingga arti kata rahinan Sugihan Jawa adalah perayaan untuk membersihkan hal-hal yang berada di luar diri manusia.

Sedangkan rahinan Sugihan Bali, imbuh  beliau, adalah perayaan untuk membersihkan di dalam diri manusia.

Pada zaman dahulu konon perayaan Sugihan Jawa dan Sugihan Bali, keduanya dirayakan oleh setiap umat Hindu di Bali. 

"Sedangkan sekarang perayaan rahinan sugihan dirayakan secara mengkhusus, yaitu ada yang khusus merayakan Sugihan Jawa dan ada yang khusus merayakan Sugihan Bali," sebut mantan dosen di Unhi Denpasar ini.

Namun beliau mengingatkan, bahwa kedua sugihan sama pentingnya bagi umat Hindu di Bali dan Nusantara. 

"Seperti telah disebutkan di awal, bahwa Sugihan Jawa merupakan pembersihan di luar dan Sugihan Bali adalah pembersihan di dalam," tegas beliau. 

Hal ini dibuktikan pada tahun 1970-an ke bawah, di mana halaman pura atau merajan masih berupa tanah yang tidak disemen atau dibeton seperti sekarang.

Begitu juga tembok-tembok pura atau merajan, rekatan temboknya jarang memakai semen, lebih-lebih orang pergi ke pura atau merajan tidak setiap hari seperti sekarang, tetapi hanya sewaktu-waktu saja.

Sehingga selama kurun waktu 210 hari (6 bulan wuku), maka rumput-rumput liar dan pohon-pohon perdu akan tumbuh di halaman dan di tembok pura serta merajan. 

"Nah ketika hari raya Galungan yang merupakan hari raya yang paling besar dan paling disucikan oleh umat Hindu di Bali, maka  umat akan melakukan pembersihan halaman pura dan merajan untuk menyambut datangnya hari Galungan," jelas beliau.

Sambil terlebih dulu matur piuning (minta izin) dilanjutkan dengan bersih-bersih sehingga pura dan merajan kelihatan bersih dan rapi untuk menyongsong hari suci Galungan.

"Inilah sebenarnya makna dari Sugihan Jawa, yaitu membersihkan bagian luar dari pura atau dari manusia itu sendiri yang ditandai dengan melaksanakan pembersihan sekala (yang kelihatan nyata) pembersihan luar (jaba/jawa)," sebut mantan jurnalis ini. 

Setelah pembersihan luar, telah dilakukan maka pembersihan atau penyucian di dalam diri manusia yang berupa pikiran, tingkah laku, laksana atau perbuatan juga harus dibersihkan. Perayaan penyucian hal-hal yang berada di dalam diri sendiri itulah, dilambangkan dengan Sugihan Bali (penyucian di dalam diri atau penyucian niskala). 

Sarana penyucian atau pembersihan di dalam diri menggunakan upacara "Parebuan".

Adapun sarana yang dipakai  parebuan ini adalah babi guling, bebek atau ayam guling, dan juga telur guling. Sehingga dalam upacara rahinan sugihan pasti dibarengi dengan upacara marerebu atau parebuan.

"Sarana babi guling, bebek guling, ayam guling, ataupun telor guling ini sesungguhnya bukan haturan atau  persembahan kepada Ida bhatara-bhatari. Tetapi hal tersebut adalah sarana untuk menyucikan atau membersihkan kotoran-kotoran dalam pikiran, tingkah laku manusia itu sendiri," ucap beliau. 

Sebab pada dasarnya, ida bhatara-bhatari tidak membutuhkan persembahan yang  seperti itu, karena beliau ngalap sari atau selalu berada pada tingkat kesucian.

"Sehingga daging parebuan, sesungguhnya adalah sarana untuk membersihkan pikiran dan kekotoran dalam diri manusia," ujar beliau. 

Dalam menyongsong datangnya hari suci Galungan, maka manusia harus siap dalam keadaan bersih, baik itu bersih lahir maupun batin.

Sebab upacara parebuan berasal dari kata rebu yang kemudian menjadi kata marebu, ngarebu, dan menjadi parebuan. 

"Kata rebu menurut kamus Kawi-Indonesia oleh Prof.Drs.S. Wojowasito, artinya adalah menghibur. Sedangkan arti kata ngarebu juga berarti ngerebut," ucapnya. Sehingga kata kata parebuan, ngarebu, marebu dalam konteks upacara rahinan sugihan adalah upacara merebut-rebutan untuk bersenang-senang dalam menyambut Galungan.

"Yang artinya bahwa upacara marebu yang dilaksanakan pada rahinan sugihan, adalah bertujuan untuk menyucikan atau menghilangkan pikiran atau hal-hal negatif dalam diri manusia, sehingga kita bisa bersuka-ria dan dalam hati yang jernih dan bersih menghadapi turunnya Sang Bhuta Tiga Galungan," sebut beliau.

Sebab Sang Bhuta Tiga Galungan yang dipercaya selalu menggoda kehidupan umat manusia.

Oleh sebab itu, dalam ajaran Hindu di Bali disampaikan agar hati-hati dan selalu berhati bersih dan suci disaat menyongsong datangnya Galungan. 

"Sebab sebelum Buda Kliwon Dungulan atau hari raya Galungan, maka  Sang Bhuta Tiga Galungan akan turun menggoda manusia. Sehingga manusia harus bisa menahan hal-hal negatif dalam diri atau bisa anyekung jnana suda nirmala yaitu mengendalikan diri dari hal yang negatif.

Maka untuk menyucikan di dalam diri (bhuana alit) akan dilakukan parebuan, sedangkan pembersihan alam semesta (bhuana agung) ditandai dengan melaksanakan bersih-bersih di lingkungan pura atau merajan. 

Sejatinya upacara parebuan, marebu, ngarebu, marerebu saat rahinan sugihan itu bertujuan untuk menyatukan keluarga, kerabat sehingga bisa bersenang-senang menghadapi hari raya Galungan.

"Oleh sebab itu sarana upacara marebu ini, terdiri dari makanan berupa guling babi, guling bebek, guling telor dan sebagainya," sebut beliau.

Sarana upacara marerebu seperti makanan tersebut, sepatutnya dan harus dimakan bersama-sama di  pura atau di merajan setelah matur piuning upacara sugihan selesai.

"Pada zaman dahulu pada rahinan sugihan di saat marebu, maka biasanya orang akan membawa nasi dalam satu tempat dan daging parebuan juga dalam satu tempat," ujar ida.

Setelah selesai sembahyang maka keluarga atau kerabat akan makan bersama-sama di pura atau di merajan, sehingga akan terjadi perebutan makanan (karena tempatnya satu wadah) dengan suka ria.

Nah dalam perebutan makanan ini sering terjadi sengolan dan obrolan tentang hal-hal yang menyenangkan, sehingga kegembiraan muncul. 

Bahkan orang yang tadinya dulu saling bersitegang, karena kondisi yang riang gembira, hatinya bersama-sama menjadi luluh.

Dengan demikian yang tadinya ada rasa marah, rasa dendam, akan sirna karena telah melaksanakan makan bersama-sama dalam situasi gembira. Maka parebuan  ini sesungguhnya adalah ritual penyucian atau pembersihan ke dalam hati sendiri.

Sehingga rasa kedamaian akan muncul. Hal ini bisa dibandingkan dengan upacara bakar batu bagi suku-suku yang berada di pedalaman Papua.

Di mana upacara perdamaian setelah perang suku ditandai dengan pesta bakar batu, makan bersama antara suku yang tadinya bermusuhan.

"Sehingga makna dari upacara marebu saat Sugihan adalah simbol penyucian atau pembersihan bhuana alit yang berupa pikiran, perilaku, bahkan perbuatan untuk menyongsong datangnya hari raya Galungan yang sangat disucikan," sebut beliau. Dengan jalan memakan atau menyucikan organ dalam.

Oleh karena itu setelah melakukan parebuan, diusahakan makan bersama-sama di pura atau merajan dan jangan disimpan sendiri dibawa pulang. Karena spirit kebersamaan akan menimbulkan ketenangan batin dan pikiran, sehingga hati menjadi suci dan bersih. 

Parebuan tidak harus dengan babi guling, parebuan disesuaikan dengan kemampuan dan jumlah orang yang akan diajak menikmati upacara parebuan itu.

Marebu boleh menggunakan babi guling bagi yang mampu, boleh itik guling, bahkan boleh telor guling bagi yang kurang mampu.

Sebab  dalam beragama tidak ada paksaan dan beragama sebenarnya untuk ketenangan dan kebahagiaan serta kedamaian.

Oleh sebab itu melakukan upacara marebu saat sugihan, tidak harus dengan babi guling, boleh dengan yang lebih kecil sesuai dengan kemampuannya. 

"Karena sesungguhnya parebuan, yang berupa guling adalah bukan dipersembahkan kepada ida bhatara-bhatari, tetapi hanya matur piuning, dan akan digunakan untuk sarana penyucian manusia dalam mencapai kebahagiaan," sebut beliau."

"Sehingga upacara marebu  pada rahinan sugihan memiliki makna dan nilai filosofis untuk menyucikan atau membersihkan bhuana alit (manusia) berupa rohani pikiran dan perilaku, sedangkan Sugihan Jawa adalah pembersihan bhuana agung (alam semesta), untuk menyongsong datangnya hari raya besar suci Galungan. (*)

Artikel lainnya di Serba serbi

Sumber: Tribun Bali
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved