Waspadai Grooming, Perilaku Manipulatif di Balik Kekerasan Seksual pada Anak di Bawah Umur

Banyak kasus kekerasan seksual pada anak dilakukan dengan cara memanipulasi korbannya.

Penulis: Priscilla Nivili | Editor: Priscilla Nivili
tribun bali/dwisuputra
ilustrasi - Pelecehan seksual terhadap anak. Untuk melindungi anak dan orang-orang yang kita sayangi, mari mengenal lebih dekat tentang grooming dan waspadai tanda-tandanya. 

Pelaku mulai berusaha menciptakan situasi di mana ia dan korbannya bisa berduaan saja.

Contohnya, melakukan babysitting (pengasuhan), latihan/kursus privat hanya berdua, atau mengajak jalan-jalan hanya berdua saja.

Awalnya mereka akan meyakinkan sang anak bahwa pelaku sayang dan pengertian padanya meskipun orang lain bahkan orang tuanya tidak.

Kemudian pelaku akan mulai menanamkan pikiran bahwa tidak ada yang menyayangi si anak, dan hanya pelaku satu-satunya orang yang menyayanginya.

Contoh: “Kamu bisa cerita sama saya, tidak ada yang mengerti kamu selain saya.”

Baca juga: Anak Hiperaktif Bukan Berarti Bandel, Kenali ADHD dan Gejalanya pada Anak

5. Mulai menyinggung hal berbau seksual

Ketika ketergantungan secara emosional sudah terbangun, pelaku akan mulai menunjukkan perilaku-perilaku seksual.

Perilaku ini ditunjukkan dalam percakapan, menunjukkan gambar-gambar ‘jorok’, bahkan menciptakan sebuah situasi di mana pelaku dan korban bisa tak berbusana (berenang atau mandi).

Pelaku yang adalah orang dewasa ini, dengan menjijikkan mengeksploitasi rasa penasaran alamiah sang anak terhadap hal-hal berbau seks.

Contoh: “Kamu pernah masturbasi, tidak? Saya bisa tunjukkan caranya. Rasanya enak, loh!”

Baca juga: Penting Untuk Diketahui Orang Tua, Berikut 14 Tanda Anak Mengalami ADHD

6. Memegang kendali

Sekalinya kekerasan seksual sudah terjadi, pelaku akan mengendalikan sang anak agar tutup mulut dengan berahasia, menciptakan rasa bersalah, dan ancaman.

Untuk memegang kendali, pelaku akan melakukan manipulasi emosional, membuat anak percaya bahwa pelaku adalah satu-satunya orang yang bisa memenuhi kebutuhan material dan emosionalnya.

Anak akan merasa bahwa konsekuensi bercerita, melapor, atau buka suara lebih merugikan dan memalukan dibanding tetap diam dan melanjutkan hubungan tidak sehat ini.

Contoh: “Kalau kamu bilang-bilang ke orang lain nanti kita nggak bisa ketemu lagi, loh.” atau “kalau kamu melapor, keluargamu akan celaka!”

Baca juga: Bisa Memperparah Gejala Hiperaktif, Inilah 7 Makanan yang Harus Dihindari bagi Anak ADHD

Halaman
1234
Sumber: Tribun Bali
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved