Berita Denpasar
Perbedaan Sebutan Ida dan Ratu Dalam Tatanan Bahasa Bali yang Baik dan Benar
Sejak dikenal bahasa sebagai alat komunikasi di dalam kehidupan masyarakat tentunya mempermudah komunikasi
Penulis: AA Seri Kusniarti | Editor: Karsiani Putri
TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR – Sejak dikenal bahasa sebagai alat komunikasi di dalam kehidupan masyarakat tentunya mempermudah komunikasi dalam menyampaikan suatu keinginan, atau saling berbicara antar manusia.
Saat ini di Nusantara, bahasa Indonesia adalah bahasa yang lazim dan wajib digunakan dalam kehidupan sehari-hari.
Bahasa Indonesia juga dikenal sebagai bahasa nasional.
Baca juga: Bade Tumpang Sebelas Seberat 2 Ton, Pelebon Ida Cokorda Pemecutan XI Gunakan 1 Kubik Kayu
Baca juga: Apakah Roh Bisa Tersesat? Begini Penjelasan Ida Pandita Mpu Jaya Acharya Nanda
Baca juga: PATUT DICOBA! Ini 5 Cara untuk Mencegah Gula Darah Rendah
Namun selain bahasa nasional, masyarakat Indonesia juga mengenal bahasa daerah.
Ida Pedanda Nabe Gede Buruan, menjelaskan bahwa bahasa-bahasa daerah yang masih hidup di berbagai wilayah Indonesia ini.
Dipakai sebagai alat perhubungan yang hidup, dibina oleh masyarakat pemakainya.
Kemudian dihargai dan dipelihara oleh negara karena bahasa-bahasa itu adalah bagian daripada kebudayaan yang masih hidup.
“Fungsinya sebagai penunjang bahasa nasional, memperkaya perbendaharaan bahasa nasional,” sebut beliau kepada Tribun Bali di dalam program Bali Sekala-Niskala.
Salah satu bahasa daerah, adalah berasal dari Bali yaitu bahasa daerah Bali.
Bahasa Bali juga disebut bahasa ibu di Bali, berfungsi sebagai alat komunikasi yang dipakai di dalam kehidupan masyarakat Bali.
Juga untuk orang tua mendidik anak-anaknya, di dalam rumah tangga dan sebagainya.
Bahasa Bali sendiri memiliki keunikan karena memiliki anggah-ungguh di dalamnya.
“Anggah-ungguhing basa Bali, adalah istilah untuk tingkatan bahasa dalam bahasa Bali. Yang pemakaiannya telah diresmikan dalam Loka Karya Bahasa Bali 1974 di Singaraja,” sebut beliau.
Mantan Dosen Unud ini, mengatakan bahwa sebelumnya ada beberapa istilah untuk menyebutkan tingkatan bahasa dalam bahasa Bali.
Antara lain, masor singgih atau sor singgih basa, kasar alus, undag-undangan basa, hingga warna-warna basa.
Munculnya anggah-ungguhing basa Bali, disebabkan adanya stratifikasi masyarakat suku Bali pada zaman dahulu (zaman kerajaan).
Dan hingga kini masih dilestarikan.
Namun seiring kemajuan zaman, banyak generasi muda yang tidak paham bahkan tidak mengerti dengan bahasa Bali.
Padahal bahasa Bali adalah bahasa ibu, bahasa warisan leluhur nenek moyang suku Bali.
Satu contoh nyata, adalah dalam penggunaan kata ida. Beliau mengatakan, bahwa ida adalah kata ganti orang ketiga.
Sehingga tidak tepat menyebutkan kata ida untuk lawan bicara orang kedua.
Semisal si A berbicara dengan si B, maka sepatutnya yang disebut dengan ida adalah si C bukan si B.
Sementara penyebutan untuk si B, bisa dengan ratu atau atu.
Namun apabila lawan bicara tidak akrab bisa dengan sebutan jero, atau ragane.
Kata ida, jelas beliau, adalah untuk menyebutkan seseorang di luar lawan bicara kedua atau orang ketiga.
Baca juga: PRO KONTRA Pengunduran Diri Ida Rsi Lokanatha, Bolehkah Mencium Istri Menurut Sesana Sulinggih?
Baca juga: MEGAH! Pelebon Ida Cokorda Pemecutan XI Bakal Gunakan Bade Tumpang Sebelas, Ada Mapeed Ogoh-ogoh
Ida pedanda berharap semoga hal ini dapat diluruskan di tengah masyarakat, sehingga tidak ada lagi yang salah menggunakan kata ida di dalam berbahasa Bali.
(*)