Berita Bali
Selain Perkawinan Nyentana, Bisa Pada Gelahang, Ahli Hukum Adat Prof Windia Beri Pandangan ini
sahnya sebuah perkawinan dan perceraian di Bali dapat dilihat dari sudut hukum adat Bali dan hukum nasional.
Penulis: AA Seri Kusniarti | Editor: Wema Satya Dinata
Artinya dalam hal memilih bentuk perkawinan biasa, keturunan mengikuti garis ayah atau bapak.
Sementara di Bali juga dikenal nyentana, atau keturunan mengikuti garis ibu karena dalam hal ini si ibu berkedudukan sebagai purusa.
"Selain itu, sesuai dengan sistem kekeluargaan patrilenial. Adanya keturunan laki-laki dalam keluarga sangatlah penting. Karena hal ini terkait dengan tanggung jawab yang harus diteruskan," katanya.
Baik berupa swadharma (kewajiban) dan hak-hak (swadikara) seseorang dalam keluarga dan masyarakat (desa pakraman atau banjar).
Kemudian bagi pasangan suami istri yang sama sekali tidak memiliki keturunan. Maka akan mengatasinya dengan mengangkat anak (sentana).
Anak yang diangkat dikenal istilah sentana paperasan. Kemudian bagi pasangan suami istri, yang hanya dikaruniai anak perempuan saja. Maka biasanya akan mengusahakan, salah seorang anak perempuannya menjadi sentana rajeg. Dan berusaha menemukan laki-laki yang bersedia melangsungkan perkawinan nyentana, (kawin kaceburin) bagi anak perempuan tersebut.
"Apabila dalam keadaan tertentu, tidak ada laki-laki yang bersedia melangsungkan perkawinan nyentana. Karena kebetulan laki-laki tersebut adalah anak tunggal di keluarga. Atau karena alasan lain, maka untuk menghindari kaputungan atau camput bisa dengan cara perkawinan pada gelahang," sebut Prof. Windia. (*)
Artikel lainnya di Berita Bali