Berita Gianyar
Niat Selamatkan Status Anak, Solusi Keluarga Melina yang Menikah Tanpa Suami di Gianyar
Ni Putu Melina (22) asal Banjar Banda, Desa Saba, Kecamatan Blahbatuh, Gianyar masih menjadi sorotan khalayak ramai.
Penulis: I Wayan Eri Gunarta | Editor: Karsiani Putri
"Persyaratan sahnya sebuah perkawinan menurut Kuna Dresta (adat kebiasaan di masa yang lalu) di Bali, sejatinya sangat sederhana," jelasnya kepada Tribun Bali, Senin (17/1).
Menurutnya, diantaranya, tidak ada pihak yang menyatakan keberatannya atas perkawinan.
Pernikahan tersebut disaksikan keluarga laki-laki, dan prajuru banjar atau desa di tempat perkawinan berlangsung.
Ada upacara byakawon sesuai agama Hindu.
Dan perkawinan sah sesuai hukum adat dan negara.
Demikian pula jika bercerai, harus dilakukan di hadapan prajuru banjar atau desa pakraman.
Kemudian hasilnya diumumkan dalam rapat banjar, atau desa pakraman dan perceraian pun dianggap selesai serta sah.
Namun tidak dapat dipungkiri, bahwa Kuna Dresta mengalami perubahan sesuai dengan perkembangan zaman.
Prof Windya menambahkan, bahwa tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa sesuai dengan UU No 1 Tahun 1974. Kemudian tujuan perkawinan dalam pandangan agama Hindu, selain membentuk keluarga yang bahagia dan kekal.
"Serta tentu saja untuk mendapatkan keturunan, guna meneruskan tanggung jawab orangtua dan leluhurnya. Tanggungjawab yang dimaksud adalah tanggungjawab terhadap parhyangan, pawongan, dan palemahan," sebut dosen Unud asli Ubud ini.
Baca juga: VIRAL Perempuan di Gianyar Menikah Tanpa Suami, Ortu: Lelaki Mendadak Tak Mau Nyentana
Baca juga: Perempuan di Gianyar Menikah Tanpa Suami, Ini Kata PHDI
Berdasarkan sistem kekeluargaan patrilenial yang dianut di Bali, keturunan mengikuti garis kapurusa.
Artinya dalam hal memilih bentuk perkawinan biasa, keturunan mengikuti garis ayah atau bapak.
Sementara di Bali juga dikenal nyentana, atau keturunan mengikuti garis ibu karena dalam hal ini si ibu berkedudukan sebagai purusa.
"Selain itu, sesuai dengan sistem kekeluargaan patrilenial, adanya keturunan laki-laki dalam keluarga sangatlah penting. Karena hal ini terkait dengan tanggung jawab yang harus diteruskan," katanya.
Baik berupa swadharma (kewajiban) dan hak-hak (swadikara) seseorang dalam keluarga dan masyarakat (desa pakraman atau banjar).