Berita Denpasar
Makna Upacara Matipat Bantal atau Upacara Mamitan Dalam Hindu
Upacara matipat bantal atau mejauman sering pula disebut upacara mamitan.
Penulis: AA Seri Kusniarti | Editor: Karsiani Putri
Sehingga akan menjadi bentuk utuh yang diinginkan, misalnya seperti baju, celana, kain dan lain-lainnya.
Itu bermakna bahwa mejauman adalah simbol penyatuan dalam hal ini penyatuan keluarga purusha dengan keluarga pradana.
Kata mamitang, berarti memohon.
Yang diartikan sebagai pemberitahuan, pendahuluan, dan penyampaian pendahuluan.
Baca juga: Hukum Karma Hingga Anak Cucu, Ini Penjelasannya Dalam Hindu Bali
Baca juga: Purnama Sebentar Lagi, Pahami Makna dan Sarana Upakaranya Dalam Hindu Bali
"Contoh misalnya kata 'mamitang lugra' yang berarti kata mohon maaf terlebih dulu, kepada orang yang diajak bicara yang belum kita kenal betul atau orang yang kita anggap lebih tua atau orang yang disucikan dan dihormati," jelas beliau.
Kata 'mamitang' tidak sama dengan artinya dengan kata mapamit.
Sehingga dari pengertian kata-kata tersebut, maka kata upacara mejauman, matipat bantal, dan mamitang.
Pada dasarnya memiliki arti dan tujuan yang sama.
Sebab dalam upacara mejauman ini, terkandung arti pengikatan antara keluarga purusha dan keluarga pradana menjadi bentuk keluarga besar yang disebut mapewarangan.
Mepewarangan artinya sama-sama terikat, membiayai atau bertanggung jawab baik pihak purusha ataupun pihak pradana sama-sama mempunyai andil tanggung jawab terhadap kedua mempelai.
Baca juga: FAKTA-FAKTA Viralnya Akting Tukang Bakso yang Terjatuh: Berharap Dikasihani Warga
Sedangkan simbol tipat dan bantal, adalah simbol penyatuan purusha dan pradana, atau laki-istri sehingga sah menyatu sebagai suami-istri.
"Mengenai istilah 'mamitang' adalah istilah untuk menyampaikan permohonan bahwa pihak pradana, atau yang berperan sebagai pradana atau orang yang nyentana, akan tidak lagi ngaturang ayah sehari-hari seperti sebelum mereka kawin di merajan tempat kelahirannya," jelas beliau.
Sehingga kata mamitang ini adalah terbatas pada konsep ayah-ayahan yang tadinya dilakukan setiap hari atau setiap saat, kini karena keadaannya sudah berbeda maka ia hanya bisa ngayah sewaktu-waktu saja.
Untuk itulah, kata mamitang berbeda dengan kata mapamit.
Sebab kata mapamit, kata beliau, adalah berarti memutuskan, putus dengan leluhur (sanggah atau merajan), dan putus dengan keluarga.