Berita Denpasar

Akses Jalan Ditutup Batako, Tanah di Kampung Bugis Serangan Kembali Berpolemik

Akses Jalan Ditutup Batako, Tanah di Kampung Bugis Serangan Kembali Berpolemik

Penulis: Firizqi Irwan | Editor: Harun Ar Rasyid
Tribun Bali/Ahmad Firizqi Irwan.
Ramai di jagat media sosial, akses jalan di sebelah timur Kampung Bugis, Serangan, Denpasar Selatan, Kota Denpasar, Bali ditutup, pihak Bendesa Adat, Kepolisian dan masyarakat turun ke lokasi. 

Laporan Wartawan Tribun Bali, Ahmad Firizqi Irwan

TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR - Ramai di jagat media sosial, akses jalan di sebelah timur Kampung Bugis, Serangan, Denpasar Selatan, Kota Denpasar, Bali ditutup, pihak Bendesa Adat, Kepolisian dan masyarakat turun ke lokasi.

Kejadian yang berlangsung pada Rabu 9 Maret 2022 pagi, bahkan membuat situasi tegang, mengingat, akses jalan ditutup menggunakan batako.

Setelah ditelusuri, diketahui jika kejadian itu terjadi karena masalah tanah yang di klaim hingga dibuat jalan tanpa sepengetahuan pemilik dari Siti Sapurah alias Ipung.

Ipung yang dikenal sebagai Advokat Hukum dan Mediator sekaligus pemerhati Perempuan dan Anak ini menyayangkan sikap oknum yang membuat jalan tanpa ijin dari dirinya.

"Sebenarnya saya bukan orang yang keras, bukan orang yang tidak bisa bertoleransi, bukan yang tidak bisa diajak bicara, tidak punya hati. Saya punya semua itu sebagaimana manusia pada umumnya. Tapi itu jalan dibangun tanpa saya tahu," ujar Siti Sapurah alias Ipung ditemui Tribun Bali, Rabu 9 Maret 2022 siang.

Dalam kasus ini, Ipung sudah beberapa kali merasa terganggu dengan masalah seperti ini, bahkan tanah milik almarhum ayahnya Daeng Abdul Kadir yang dibeli sejak tahun 1957 beberapa kali di klaim oleh oknum-oknum tanah.

"Sebenernya saya sudah capek, tanah saya ini tidak pernah berhenti diganggu sejak tahun 1974 pasca meninggalnya bapak kandung saya, Daeng Abdul Kadir," terangnya.

Menelisik lebih lanjut, Ipung mengatakan sejak tahun 1957 sudah ada putusan yang menetapkan bahwa tanah yang ada di Kampung Bugis seluas 1,12 hektar milik ayahnya dan ada tanah miliknya seluas 0,995 hektar.

Tertulis dalam Pipil Nomor 2, Persil Nomor 15C memiliki luas 0,995 hektar milik Ipung dan Pipil Nomor 2, Persilangan Nomor 15A memiliki luas 1,12 hektar tanah milik ayahnya, Daeng Abdul Kadir.

Banyak oknum yang mencoba mengusik tanah milik Ipung dan ayahnya, bahkan di tahun 2009 ada gugatan bahwa Pipil tersebut salah dan disebut tanah itu wakaf (pemberian) dari Cokorda Pemecutan.

Di tanah itu diketahui pernah ditempati 36 keluarga, padahal sebelumnya Ipung menyebut tanah setengah hektar kosong tidak ada penghuninya, namun banyak orang yang datang lalu menempati lahan itu dan mengaku sebagai orang Bugis.

"Mereka tidak ada satupun dari 36KK orang Bugis. (Mereka) orang dari Banyuwangi, Lombok, Jawa, Sumedang, Palembang, Bima, Sumbawa dan Madura. Gugatan itu saya ladenin, karena saya pegang putusan tahun 1974-1975. 

Saya ladenin, karena saya pegang putusan tahun 1957. Memang benar tanah itu sudah diperjual belikan oleh ayah saya Daeng Abdul Kadir. Dari 2009 saya digugat, sampai November 2020 tidak ada lagi pengklaim selain Cokorda Pemecutan tapi akhirnya inkrah," lanjut Ipung.

Memasuki tahun 2017, tepatnya pada tanggal 3 Januari, dirinya selaku pemilik tanah melakukan eksekusi bangunan yang dibangun di tanahnya sampai selesai.

Namun beberapa tahun kemudian, tepatnya 2021 ia kembali mendapat kabar ada pengklaiman tanah tersebut dari PT BTID (Bali Turtle Island Development) tanpa sepengetahuannya.

Perusahaan tersebut bahkan pernah bersurat ke Desa Adat Serangan, Denpasar Selatan, Kota Denpasar, Bali dan menyebut bahwa lahan yang pernah di eksekusi Ipung adalah milik perusahaan tersebut.

"Jadi pertanyaan saya, kalau PT BTID memang punya tanah di areal eksekusi. Waktu tanah di eksekusi oleh seorang Ipung bawa alat berat 10 eksavator yang besar, bawa truk 30, 150 orang dan 1127 anggota polisi, dia (perusahaan) kemana? Apa mereka tidak melihat itu. Sekarang tiba-tiba muncul mengatakan tanah eksekusi milik PT BTID," tambahnya.

Ia menambahkan tanah yang berada di sebelah timur, masing-masing milik ayahnya Daeng Abdul Kadir seluas 1,12 hektar, ada tanah 0,995 hektar milik dirinya dan ada juga tanah milik almarhum Muh Taib yang mana tanah tersebut digunakan untuk jalan.

"Saat dia membikin jalan, ini masuk ke dalam yang punya tanah satu di panggil ke kantor Lurah sebelum berita acara ditanda tangani pada tanggal 27 April 2016. Pemilik tanah, almarhum Muh Taib dipanggil, kalau tanahnya akan dijadikan jalan.

Pemanggilan tersebut bahkan membuat Ipung geram, mengingat tanah yang akan dijadikan jalan tidak pernah didiskusikan olehnya.

"Saya dan bapak tidak dipanggil (membahas) untuk urusan itu. Tanah ini satu garis lurus dari Selatan ke Utara. Itu tanah milik saya, tapi kenapa tidak diakui. Padahal kan satu garis lurus. Sedangkan dia bilang, tanah eksekusi adalah tanah eks kehutanan.

Ini dari tahun 1957, tanah 112 hektar sudah dikuasai oleh almarhum keluarga saya. Sedangkan tanah milik Muh Taib tidak di bilang eks kehutanan, ini juga yang 0,995 hektar sampai sekarang masih tanah kosong tidak diakui milik saya. Padahal semua sudah jelas," pungkas Ipung.

Dilain kesempatan, Bendesa Adat Serangan I Ketut Sedana yang baru menjabat belum mengetahui secara pasti permasalahan yang terjadi di wilayahnya.

"Kami tidak tau asal usul tanah milik siapa dari siapa. Kami dan masyarakat secara umumnya menilai tanah ini pemberian dari PT BTID. Inilah perlu kami croscek," ujar I Ketut Sedana, Rabu 9 Maret 2022.

Baca juga: Nilai Ekspor Ikan Bali Menurun 22,1 Persen Pada Februari 2022

Baca juga: PTM di Tabanan Tunggu Intruksi Gubernur Bali, Angkutan Siswa Masih Belum Bisa Beroperasi

Baca juga: Disdikpora Denpasar Tunggu SE Gubernur Bali Soal Pelaksanaan PTM, Wiwik: Guru Juga Sama Inginnya PTM

Lanjut Bendesa Adat Serangan itu, dirinya mengaku bertugas melanjutkan apa yang sudah ada, bahkan saat jalan belum di aspal hingga bantuan keluar dari pemerintah untuk di aspal.

"Jadi kami tinggal melanjutkan apa yang sudah ada, cuman pada waktu itu jalannya tidak hotmic (beraspal). Setelah kami naik jadi Bendesa, Hotmic ini keluar bantuan dari pemerintah, hanya sebatas itu yang kami tahu," terangnya.

Dalam kejadian ini, I Ketut Sedana berharap permasalahan ini segera bisa diatasi oleh pihak-pihak yang terlibat, ia menyebut dalam hal ini masing-masing Pemerintah, Desa, PT BTID dan pihak terkait lainnya yang punya bukti-bukti kepemilikan.

"Itu yang kurang jelas karena saya sebagai Bendesa sudah mendapatkan jalan yang sudah ada. Jadi biar kami tidak salah, kami juga menyuruh masyarakat kami biar dalam hal ini pemerintah lah yang memanggil, yang mengklaim lahan ini," tambahnya.

Baca juga: VIRAL di Medsos Soal Jalan yang Ditutup Batako di Desa Serangan, Kapolresta Denpasar Buka Suara

BERITA LAINNYA

Sumber: Tribun Bali
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved