Human Interest Story
Pasutri Perajin Sarung Benda Tajam dari Kulit Sapi di Gianyar, Bertahan di Tengah Perubahan Zaman
Di Desa Sidan, Gianyar, Bali, Pande Nyoman Artono bersama istrinya, Pande Ketut Suaniti menjadi satu-satunya pembuat sarung benda tajam tersebut.
Penulis: I Wayan Eri Gunarta | Editor: Noviana Windri
TRIBUN-BALI.COM, GIANYAR - Sarung untuk benda tajam, seperti pisau, belakas atau golok, menjadi salah satu usaha tradisional yang dulu menjadi salah satu tumpuan sejumlah pengusaha di Bali.
Dimana sarung tersebut dibuat dari kulit sapi.
Namun seiring dengan perkembangan zaman, usaha tersebut menemukan berbebagai kendala.
Salah satunya dalam bahan baku.
Dimana harga bahan baku kulit sapi nilainya terus melambung.
Baca juga: Kisah Kolektor Kaset Pita di Tabanan, Pernah Beli Patungan dan Pakai Gantian
Baca juga: Kisah Pura Penataran Agung Besakih, Tempat Berkumpul Bhatara
Tak hanya itu, mereka juga harus bersaing dengan pengusaha tas dan sepatu untuk mendapatkan kulit tersebut.
Tak sedikit dari mereka pun memilih menyerahkan, meninggalkan usaha tradisional ini.
Padahal dulu, sarung benda tajam ini tak bisa dilepaskan dari aktivitas masyarakat adat di Bali.
Sebab, setiap kegiatan selalu menggunakan pisau maupun golok, tentunya sarungnya yang terbuat dari kulit sapi selalu nyantol di selendang saat krama menggelar kegiatan adat.
Di Desa Sidan, Gianyar, Bali, Pande Nyoman Artono bersama istrinya, Pande Ketut Suaniti menjadi satu-satunya pembuat sarung benda tajam tersebut.
Suami-istri ini sudah menggeluti usaha sarung tersebut sejak tahun 2004.
Sebelum memilih profesi sebagai perajin sarung benda tajam, mereka sempat berkecimpung sebagai pengepul bahan bilah pisau dan golok ke berbagai pande di Gianyar dan Bangli.
Besi bahan bilah pisau/golok dibelinya dari pengepul rongsokan di Denpasar.
Saat itu, di Denpasar hanya ada tiga pengepul rongsokan, namun seiring waktu, pengepul bertambah.
"Lama kelamaan pande besi mengambil sendiri bahan bilah ke pengepul rongsokan, dan sekarang pedagang rongsokan membawa bilah ke pande besi. Sehingga usaha jualan bilah ke pande besi berhenti," ujarnya.
Baca juga: Kisah Ratu Peranda Istri Panida Semasa Hidupnya, Mengayomi dan Bersahaja
Baca juga: KISAH Kadek Mega, Perajin Lengis Tandusan di Bangli Mampu Sekolahkan Anak Hingga S2
Karena itu, Pande Artono pun akhirnya mencoba peruntungan membuat kerajinan sarung pisau/golok.
Dan, usaha tersebut digelutinya hingga saat ini.
"Saya tidak memiliki guru, hanya belajar otodidak. Awal-awalnya dalam sehari tidak selesai satupun, dan akhirnya terus mencoba, akhirnya bisa. Saat ini sudah bisa membuat sarung dengan berbagai variasi dan dilapisi beludru," ujarnya.
Adapun bahan baku sarungnya, Pande masih menggunakan kulit sapi.
Dimana bahan baku tersebut dibeli di Denpasar dengan harga Rp 130 ribu per kilogram.
Di tahun 2004, harga kulit perkilonya Rp 48 ribu per kilogram.
"Harganya terus naik, apalagi saat ini jumlah rumah potong sapi menurun, sehingga harga menjadi mahal, juga karena dipakai industri sepatu dan tas kulit," tuturnya.
Untuk satu lembar kulit sapi, Pande biasanya bisa menghasilkan 35 sarung komplit yang dikerjakan dalam dua hari.
Baca juga: Kisah Cipto, Pengusaha Warung Makan yang Berinovasi, Bayar Utang Bos Ratusan Juta hingga Sukses
Baca juga: KISAH Pengusaha Asal Jembrana, Sempat Tanggung Utang Bos Ratusan Juta Rupiah dan Kini Mulai Bangkit
"Saat ini pesanan turun drastis, dulu kewalahan melayani pesanan dari pedagang dan pesanan pribadi. Pesanan datang dari seluruh Bali. Bahkan pernah melayani pesanan tamu dari England, namun putus hubungan selama masa pandemi," ungkapnya.
Pande menuturkan, untuk harga sarung benda tajam ini, dibandrol dengan harga bervariatif.
Mulai dari Rp 40 ribu sampai Rp 100 ribu tergantung model dan motif.
Semakin besar dan semakin rumit harganya bisa sampai Rp 250 ribu.
"Untuk harga bisa dibicarakan. Tapi murah mahalnya itu tergantung motif yang ingin dibuat," ujarnya. (*)