Berita Bali
Soal Profesi Pawang Hujan, Guru Mangku Hipno: Diperlukan Tapa, Brata, Diksa, hingga Sarana Upakara
Perlu banyak proses baik dari diri sendiri, maupun dari luar untuk membantu seseorang menjadi pawang hujan.
Penulis: AA Seri Kusniarti | Editor: Noviana Windri
“Orang asing juga memercayai adanya kekuatan energi yang mampu, menggerakan mendung dan membuat hujan berpindah. Jadi jangan sampai kita sendiri malah menyoraki atau mengejek,” ucapnya.
Baca juga: Lakukan Hal untuk Dapatkan Uang Misterius, Begini Penjelasan Guru Mangku Hipno
Baca juga: Guru Mangku Hipno : Hati-hati dengan Pikiran dan Mindset
Menghargai adalah hal paling penting di dalam kehidupan ini. Untuk itu, kata dosen UHN ini, etika seorang pawang hujan sangat penting selain kesucian diri, pikiran, dan hati.
Etika yang dimaksud adalah saat bertugas menjaga kebenaran, kesucian, dan keindahannya agar taksunya tetap kuat dan terpancar dengan vibrasi positif.
Selain menjadi dosen, penyembuh, dan ahli Teohipnoterapi, GMH juga melayani jasa menjadi tukang terang selama ini. Dosen asli Singaraja ini, biasanya membantu nerang untuk pembangunan sebuah perumahan.
“Misalkan saja seorang kontraktor sudah jatuh tempo harus selesai, namun karena masuk ke musim hujan akhirnya menjadi sulit, maka guru akan bantu,” jelas GMH.
Tentu saja, nerang tidak bisa terus-menerus dan GMH selama ini nerang bisa sampai 7 hari.
Tak hanya urusan pembangunan sebuah proyek, GMH juga nerang di sebuah acara dan upacara.
“Satu kata kunci untuk nerang, adalah saat proses nerang berlangsung maka pikiran jangan sampai membayangkan hujan,” tegasnya. Jangan pula jumawa merasa pasti mampu untuk menghalau hujan, hanya berserah kepada Tuhan lah kunci jawabannya.
Sebab sifat kerendahan hati akan membuat konsen menjadi lebih bagus.
“itulah kenapa secara metafisika, saat nerang harus menghilangkan emosi, ambisi, dan nafsu (lobha, kama, kroda),” sebut dosen asal Singaraja ini.
Sebab nerang, adalah permohonan kepada Tuhan. Sehingga layaknya orang memohon, maka begitulah seharunya sikap dan sifat manusia.
Yaitu menundukan diri pada kuasa alam atau kosmik, sebagai sang pengarur ruang dan waktu, kapan harus hujan dan kapan harus terang.
“Berbeda saat kita menggunakan energi batin untuk penyembuhan, kita bisa bicara keras ataupun lembut. Bergerak-gerak menyentak atau gerakan halus, dan semua dengan tujuan mensugesti pasien,” ucapnya. Namun saat nerang, secara metafisika semua itu tidak berlaku. Yang dibutuhkan adalah heneng atau diam, hening atau sepi.
“Tentunya banyak ada perspektif atau cara nerang, sesuai dengan ilmu pengetahuan yang seseorang miliki,” katanya.
Bahkan dalam beberapa kasus, ada orang yang sesungguhnya tidak bisa nerang dan tidak menguasai aji penerangan, namun karena tulus memohon agar hujan berhenti.