Serba serbi
Tidak Boleh Membaca Saat Saraswati, Berikut Penjelasan Ida Rsi Bhujangga
Sejak lama ada mitos di tengah-tengah masyarakat Hindu, bahwasanya saat hari suci Saraswati seseorang tidak diperkenankan membaca buku atau belajar.
Penulis: AA Seri Kusniarti | Editor: Ida Ayu Suryantini Putri
Begitulah manusia, tatkala memiliki kekuatan terkadang menjadi jumawa dan lupa diri. Hal inipun terjadi pada Watugunung, dan ia terus mencoba kesaktiannya saat meninggalkan tempat pertapaan dan menuju ke pemukiman warga.
Sikapnya yang arogan dengan kekuatan besar, benar-benar membuat Watugunung lupa diri. Satu per satu raja dikalahkan, dan membuat rakyatnya sengsara.
Ia telah berhasil mengalahkan 26 raja, sampai akhirnya tiba di Jalasanggara yang tiada lain adalah rumahnya sendiri. Namun karena Watugunung kabur saat masih kecil, ia dan kedua permaisuri kerjaan pun lupa akan jati dirinya.
Dewi Sinta dan Dewi Landep menyerah, kepada anaknya sendiri. Tak lama kemudian, kedua dewi dipersunting oleh Watugunung menjadi istrinya.
Suatu ketika, Watugunung berada dipangkuan Dewi Sinta, dan sang dewi pun mencarikan kutu serta membelai rambutnya. Tanpa sengaja, bekas lupa pukulan yang mirip dengan luka anaknya, ada dikepala Watugunung. Membuat Dewi Sinta sangat kaget, hancur dan hatinya porak-poranda.
Ia gelisah dan khawatir bahwa Watugunung adalah anaknya sendiri, namun ia yakin luka itu sama persis dengan luka yang dimiliki anaknya terdahulu.
Melihat sang dewi tiba-tiba sedih, Watugunung pun bertanya ada apa gerangan. Sang raja kemudian mengucapkan akan memberikan apa saja yang membantu menghilangkan kesedihannya.
Tentu saja ia sangat sayang dan nyaman dengan Dewi Sinta, karena sejatinya istrinya itu adalah ibu kandungnya sendiri. Dewi Sinta yang sangat malu dan marah, berusaha menutupi kesedihannya. Ia mencari cara mengakhiri perkawinan yang itu.
Ia kemudian meminta agar Sang Watugunung membawakan dirinya seorang pelayan, bernama Dewi Nawang Ratih. Watugunung yang merasa dirinya hebat tiada tanding, kemudian mencari Dewi Nawang Ratih yang tiada lain adalah istri dari Dewa Wisnu. Sesampainya di Wisnu Loka, dengan sombong Watugunung meminta Dewi Nawang Ratih kepada Dewa Wisnu. Tentu saja sang Tri Murti murka, hingga terjadi pertempuran diantara keduanya.
Anugerah dari Dewa Siwa, membuat kekuatan dan kesaktian Watugunung sepadan dengan Dewa Wisnu dan pertarungan pun belum berakhir. Hingga akhirnya Dewa Wisnu mengutus Bhagawan Wrehaspati mencari kelemahan Watugunung. Diutuslah Sang Lumanglang, yang menyamar menjadi binatang kecil dan mendatangi kamar Watugunung bersama Dewi Sinta.
Dari sana didapat informasi bahwa Watugunung, bisa dikalahkan dengan seseorang yang mampu berTriwikrama dan mengubah diri menjadi kura-kura.
Singkat cerita, akhirnya Watugunung kalah setelah Dewa Wisnu berTriwikrama. Tepat pada Minggu Kliwong sang Watugunung kalah dan terbunuh, makanya dikenal dengan Watugunung runtuh saat itu. Namun Dewa Siwa kembali menghidupkannya, dan akhirnya dibunuh lagi oleh Dewa Wisnu.
Sampai akhirnya Watugunung dihidupkan kembali oleh Dewa Wisnu, dengan syarat diturunkan derajatnya menjadi urutan terakhir pada wuku atau pawukon yang kini dikenal di Bali dan Nusantara.
Untuk itu setiap 210 hari sekali, akan ada hari di mana Watugunung runtuh tepatnya pada Minggu (Radite) Kliwon wuku Watugunung. Dari sana Dewa Siwa mengutuk, agar tidak boleh lagi ada pernikahan dengan anak kandung atau orang tua kandung.
Ida Rsi mengatakan, bahwa kisah ini sejatinya memiliki makna kebodohan, kesombongan, rasa congkak dan angkuh yang ada di dalam diri Watugunung. Akhirnya bisa dikalahkan oleh kebaikan. Tatkala kebodohan dikalahkan, maka setelah itu ilmu pengetahuan (Weda) diturunkan ke dunia melalui Dewi Saraswati.