Berita Badung
Universitas Udayana Buka Suara Terkait Dugaan Pemalsuan Akta Autentik Tanah Jimbaran
Universitas Udayana Buka Suara Terkait Dugaan Pemalsuan Akta Autentik Tanah JimbaranUniversitas Udayana Buka Suara Terkait Dugaan Pemalsuan Akta Auten
Penulis: Ni Luh Putu Wahyuni Sari | Editor: Harun Ar Rasyid
TRIBUN-BALI.COM – Universitas Udayana mengadakan konferensi pers terkait mantan Rektor Unud, Prof. I Made Bakta yang ditetapkan sebagai tersangka dugaan pemalsuan akta autentik terkait penyerahan tanah, bangunan dan pohon milik warga Jimbaran, Kuta Selatan, Bali.
Konferensi Pers ini diadakan langsung di Ruang Bangsa Rektorat, Universitas Udayana Jimbaran, Badung pada, Selasa 12 April 2022.
Salah satu Tim Hukum Universitas Udayana, I Nyoman Sukandia mengatakan kasus tersebut berawal dari memberikan surat kuasa sebagai seorang rektor pada masa kepemimpinan Prof. Bakta yang kini berujung sebagai tersangka.
"Kami juga ketika menanangani persoalan ini bersama tim kita akan lihat bukti-bukti yang ada, kasus ini sudah cukup lama yakni Tahun 1982 dan bukti-bukti tersimpan cukup rapi," jelasnya.
Prosedur pembebasan lahan tersebut dibuat oleh Pemerintah Provinsi Bali kala itu. Dan diketahui saat itu tidak menggunakan dana APBN.
Prosedur ini dilakukan oleh Pemerintah Provinsi Bali, dimana pada saat itu Gubernur Bali masih dijabat oleh Prof. Dr. Ida Bagus Mantra, Bupati Badung termasuk juga Prof. Ida Bagus Oka selaku Rektor Unud.
Baca juga: Oknum Guru SMA Injak Bahu Siswa di Karangasem, DPRD Bali Minta Tindak Tegas, Coreng Citra Pendidikan
Baca juga: Jelang Piodalan di Pura Samuantiga, Forum Pengurangan Risiko Bencana Mereresik
"Pada saat dilakukan itu semua, panitia masih hidup namun saat ini semua sudah meninggal. Namun salah satu dari mereka yakni lurah pada waktu itu juga menceritakan bagaimana proses yang dilakukan dikantor kelurahan dimana waktu itu bukan satu orang saja yang dibebaskan lahannya namun puluhan orang dan panitianya juga banyak pada waktu itu tidak ada transfer dipanggil satu persatu," tambahnya.
Berdasarkan bukti-bukti lalu pada tahun 2011 dimana menjelang masa jabatan akhir dari Prof.
Bakta disana tim kuasa hukum kembali membuka file-file yang lengkap termasuk cap jempol dan ganti rugi yang dilakukan dihadapan panitia pada tahun 1983 silam.
Bundel file tersebut masih lengkap sampai saat ini dan itulah yang disita oleh Bareskrim Polri.
"Sudah tentu dapat saya simpulkan bahwa itu kami benarkan karena itulah data satu-satunya yang memberikan alas hak sehingga gedung Rektorat berdiri dan semua fakultas berdiri dibuat dari Negara, itu sangat valid. Dan semua panitia disana menandatangani termasuk yang diberikan ganti rugi," imbuhnya.
Lebih lanjutnya ia mengatakan, jadi yang berhak menerima ganti rugi, jika dilihat dari data tersebut adalah I Pulir yang berhak sesungguhnya dan pada sata itu yang bersangkutan masih hidup.
I Pulir adalah orang yang diajukan dan disampaikan oleh pemerintah dalam hal ini aparat desa sampai Kepala Dusun sebagai penerima ganti rugi.
"Kalau kita singgung Swastika yang saat ini melakukan gugatan kurang lebih ditahun itu masih berumur 5 tahun artinya secara hukum yang berhak membebaskan waktu itu I Pulir. Hingga pada tahun 2011 kasus ini bergulir, Prof. Bakta tidak pernah mencap jempol karena beliau 2005 baru jadi Rektor. Jadi I Pulir sendiri mencap jempol data itu sendiri," sambungnya.
Dari tahun 1983 sampai 2002 setelah meninggal, I Pulir tidak pernah melaporkan kejadian pemalsuan sidik jarinya. Lalu setelah I Pulir meninggal ditahun 2011 baru terjadi gugatan-gugatan. Tanah ini lokasinya dipinggir jalan, dan terdapat pelinggih. Luasnya kurang lebih 2,7 Ha, belum terisi bangunan dan diberikan pagar dari Kemendikbud Ristek.
Sementara itu, Prof. Bakta yang sudah sebagai tersangka saat ini akan didampingi setiap pemeriksaannya. Langkah-langkah yang akan diambil tim kuasa hukum adalah permohonan keringanan hukum dan beberapa keringanan lainnya. (*)