Berita Bangli
Kisah Perajin Tikar Tradisional Bali di Bangli, Tetap Lestari di Tengah Sengitnya Persaingan
Tikar berbahan anyaman daun pandan merupakan salah satu produk masyarakat Bali yang memanfaatkan bahan alami
Penulis: Muhammad Fredey Mercury | Editor: Putu Dewi Adi Damayanthi
Mula-mula diawali dengan mencari daun pandan yang layak pakai.
Selanjutnya daun pandan dibersihkan dari duri, kemudian digulung lalu dijemur.
Baca juga: Kisah Penderita DB di Klungkung, Demam Naik Turun, Tetap Paksakan Diri Ikut Ujian
"Proses pengeringan ini tergantung cuaca. Kalau terik panas, hanya butuh waktu selama 10 hari. Namun kalau cuaca buruk, bisa membutuhkan waktu selama 15 hari," ucap wanita murah senyum itu.
Untuk mengantisipasi kendala cuaca ini, warga sekitar biasanya lebih dulu mencari daun pandan saat musim kemarau.
Sedangkan saat memasuki musim penghujan, dimanfaatkan untuk proses menganyam tikar.
Nyoman Lusin mengatakan, biasanya tikar tradisional yang sudah selesai dianyam kemudian disimpan.
Ia baru menjual saat jumlahnya mencapai lebih dari 10 lembar.
"Biasanya dijual di pasar dengan harga Rp 18 hingga 20 ribu per lembar. Kalau pengepul biasanya dihargai Rp 15 ribu per lembar. Penjualannya di Pasar Bangli atau Gianyar," jelasnya.
Mulai Ditinggalkan
Jumlah perajin yang masih menekuni anyaman tikar tradisional Bali di Banjar Tanggahan Talang Jiwa mulai berkurang.
Menurut Bendesa Adat sekitar, I Wayan Sukadana, hal ini tidak terlepas dari perkembangan teknologi serta kebutuhan masyarakat.
Di mana tikar tradisional saat ini mulai tergantikan dengan produk-produk tikar plastik yang dinilai lebih awet.
Di sisi lain dengan proses pembuatan cukup lama, harga jual tikar tradisonal juga cenderung murah.
"Sehingga sebagian besar warga memilih untuk menggeluti bidang lain. Misalnya menjadi buruh bangunan, dengan bayaran sekitar Rp 150 ribu per hari. Atau bekerja di bidang pariwisata. Tak sedikit pula yang memilih menjadi Pekerja Migran Indonesia. Jika dibandingkan dulu dan sekarang, kalau dulu 90 persen warga mengandalkan hidup dengan menjadi perajin tikar tradisional. Kalau sekarang, bisa dikatakan tinggal 30 persen saja, atau sekitar 25 KK. Itupun hanya sebagai sampingan," jelasnya.
Pemanfaatan tikar tradisional Bali pun diakui juga mulai mengalami pergeseran.