Info Kesehatan

Fakta-fakta Penyakit Cacar Monyet, Ditemukan Pertama Kali pada Manusia Tahun 1970 di Kongo

Cacar monyet manusia pertama kali diidentifikasi pada manusia pada tahun 1970 di Republik Demokratik Kongo.

Editor: Sabrina Tio Dora Hutajulu
ISTIMEWA
Cacar monyet/Monkeypox 

TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR - Fakta-fakta Penyakit Cacar Monyet, Ditemukan Pertama Kali Tahun 1970 di Kongo

Tribunners, cacar monyet atau monkeypox kini tengah melanda beberapa negara di dunia.

Baca juga: Cara Mencegah Cacar Monyet, Hindari Kontak dengan Hewan Liar dan Rajin Cuci Tangan

Cacar monyet utamanya terjadi di Afrika Tengah dan Barat, seringkali di dekat hutan hujan tropis dan semakin sering muncul di daerah perkotaan.

Berikut, fakta-fakta viruscacar monyet yang wajib kita ketahui.

Fakta-fakta virus cacar monyet

Dilansir dari World Health Organization (WHO), berikutnya adalah fakta-fakta virus cacar monyet yang penting untuk diketahui.

Virus penyebab cacar monyet Virus cacar monyet adalah virus DNA beruntai ganda yang termasuk dalam genus Orthopoxvirus dari keluarga Poxviridae.

Ada dua clade genetik yang berbeda dari virus cacar monyet, yakni clade Afrika Tengah (Congo Basin) dan clade Afrika Barat.

Clade Kongo Basin secara historis menyebabkan penyakit cacar yang lebih parah dan dianggap lebih menular.

Inang alami virus cacar monyet

Berbagai spesies hewan telah diidentifikasi rentan terhadap virus cacar monyet.

Hewan-hewan tersebut termasuk tupai tali, tupai pohon, tikus berkantung Gambia, dormice, primata, dan spesies lainnya.

Namun, hingga saat ini, masih ada ketidakpastian tentang sejarah virus cacar monyet dan penelitian lebih lanjut diperlukan untuk mengidentifikasi reservoir yang tepat dan bagaimana sirkulasi virus dipertahankan di alam.

Wabah virus cacar monyet

Cacar monyet manusia pertama kali diidentifikasi pada manusia pada tahun 1970 di Republik Demokratik Kongo.

Kasus pertama tersebut ditemukan pada seorang anak laki-laki berusia 9 tahun.

Sejak itu, sebagian besar kasus telah dilaporkan dari pedesaan hingga daerah hutan hujan di Cekungan Kongo, khususnya di Republik Demokratik Kongo.

Sejak tahun 1970, kasus cacar monyet terhadap manusia telah dilaporkan di 11 negara Afrika, yakni Benin, Kamerun, Republik Afrika Tengah, Republik Demokratik Kongo, Gabon, Pantai Gading, Liberia, Nigeria, Republik Kongo, Sierra Leone dan Sudan Selatan.

Kemudian, pada tahun 2017, Nigeria telah mengalami wabah besar, dengan lebih dari 500 kasus cacar monyet yang dicurigai dan lebih dari 200 kasus yang dikonfirmasi dan rasio kematian kasus sekitar 3 persen.

Penularan cacar monyet dari hewan ke manusia

Penularan cacar monyet dari hewan ke manusia (zoonotik) dapat terjadi dari kontak langsung dengan darah, cairan tubuh, fan lesi kulit atau mukosa dari hewan yang terinfeksi.

Di Afrika, bukti infeksi virus cacar monyet telah ditemukan di banyak hewan termasuk tupai tali, tupai pohon, tikus rebus Gambia, dormice, berbagai spesies monyet, dan lain-lain.

Baca juga: Waspada! Kemenkes Duga Cacar Monyet Bisa Menular Lewat Udara

Reservoir alami cacar monyet pun belum diidentifikasi, meskipun hewan pengerat adalah yang paling mungkin.

Makan daging yang tidak dimasak dengan sempurna dan produk hewani lainnya dari hewan yang terinfeksi mungkin juga termasuk faktor risiko.

Orang yang tinggal di atau dekat kawasan hutan mungkin memiliki paparan tidak langsung terhadap hewan yang terinfeksi.

Penularan cacar monyet dari manusia ke manusia

Sementara itu, penularan dari manusia ke manusia dapat terjadi akibat kontak dekat dengan sekret pernapasan, lesi kulit orang yang terinfeksi, atau benda yang baru saja terkontaminasi.

Penularan melalui partikel pernapasan biasanya memerlukan kontak tatap muka yang berkepanjangan.

Penularan cacar monyet juga dapat terjadi melalui plasenta dari ibu ke janin (yang dapat menyebabkan cacar monyet bawaan) atau selama kontak dekat saat dan setelah kelahiran.

Sementara kontak fisik yang dekat merupakan faktor risiko untuk penularan, tidak jelas saat ini apakah cacar monyet dapat ditularkan secara khusus melalui jalur transmisi seksual.

Studi lebih lanjut diperlukan untuk lebih memahami risiko ini.

(*)

Sumber Kompas

Sumber: Kompas.com
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved