Berita Denpasar

Krama Kerauhan dan Tusuk Diri dengan Keris, Tradisi Ngerebong di Kesiman Digelar Meriah

Tradisi Ngerebong di Pura Agung Petilan Pengerebongan, Kesiman, Denpasar, ratusan krama kerauhan. Ada juga puluhan krama yang kerauhan dan dibopong

Tribun Bali/Putu Supartika
Pelaksanaan Ngerebong di Pura Agung Petilan Pengerebongan Kesiman Denpasar, Bali, pada Minggu 26 Juni 2022 

TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR - Ratusan orang dengan mengusung pralingga, tapakan, barong, maupun rangda menuruni tangga dari utama mandala Pura Agung Petilan Pengerebongan, Kesiman, Denpasar menuju ke madya mandala, Minggu 26 Juni 2022.

Ada juga puluhan krama yang kerauhan dan dibopong oleh dua orang pengabih.

Setelah turun tangga, peserta menuju ke arah utara mengelilingi wantilan dengan putaran melawan arah jarum jam sebanyak tiga kali yang disebut maider buwana.

Peserta pun berbaris dan puluhan orang baik lelaki maupun perempuan berteriak, histeris, menangis.

Baca juga: PMI Kota Denpasar Rayakan HUT ke 26 di Pantai Biaung, Melibatkan Para Relawan dari Tingkat Sekolah

Sementara itu, di sekeliling wantilan sudah ada ribuan krama yang menanti, termasuk sampai ke jalan.

Gamelan terdengar bertalu-talu dan ketika ketukan gamelan semakin cepat teriakan histeris semakin keras terdengar.

Para pengabih yang berjumlah dua orang atau lebih memegang punggung mereka yang kerauhan.

Di samping mereka seorang pengayah membawa keris dan pengayah lain membawa sarung keris.

Ketika putaran sampai di depan tangga pintu masuk utama mandala mereka yang kerauhan utamanya yang lelaki akan berteriak lalu meminta keris.

Baca juga: 16 Desa/Kelurahan Perbatasan di Denpasar Jadi Prioritas Vaksin Rabies, Baru Menyasar 7,54 Persen

Setelah keris diserahkan mereka akan menusuk bagian dada maupun leher mereka sekuat-kuatnya yang dikenal dengan ngureg.

Inilah sekilas melaksanakan tradisi Ngerebong di Pura Agung Petilan pengerebongan, Kesiman, Denpasar.

Tradisi Ngerebong ini digelar enam bulan sekali tepatnya pada Minggu Pon Medangsia. Prosesi ini digelar pukul 16.00 Wita hingga 19.00 Wita.

Bendesa Desa Adat Kesiman, I Ketut Wisna mengatakan, sebelumnya dalam proses ngubeng, beberapa pemangku mengalami kerauhan.

Ketut Wisna, mengatakan krama atau pemedek yang datang tak hanya dari Kesiman, tapi juga ada beberapa dari luar, seperti dari Pemogan maupun wilayah Sanur.

Baca juga: Penjor Big Size Unik dalam Ngerebong di Kesiman Denpasar, Gunakan Terong, Tebu, hingga Wortel

“Kami di Desa Adat Kesiman terdiri dari 32 banjar adat dan juga ada beberapa krama dari luar Kesiman,” kata Jero Wisna.
Untuk kelancaran proses Ngerebong ini, digelar rekayasa lalu lintas di Jalan WR Supratman, pukul 09.00 hingga 19.00 Wita.

“Terkait rekayasa lalu lintas, kami sudah berkoordinasi dengan pihak terkait seperti kepolisian dan Dinas Perhubungan,” katanya. Dalam hal pengamanan pihaknya juga menerjunkan 200 pecalang.

Budayawan yang juga tetua Desa Adat Kesiman, I Gede Anom Ranuara mengatakan, Ngerebong pada intinya merupakan sebuah peringatan suksesnya atau kejayaan raja-raja pada zamannya yang dikemas dengan sistem religi untuk memperkuat dan mengeksistensi keberhasilan raja saat itu.

“Karena dilihat dari Pura Petilan ini adalah center upacara tempat upacara besar di Kesmiman. Ini ritual atau pengilen atau prosesi dari sejarah kejayaan itu. Dimana Raja Kesiman sempat melaksanakan ekspansi ke Sasak, Lombok,” katanya.

Ekspansi tersebut dilakukan dengan tiga tahap yakni penyerangan, penggempuran, dan keberhasilan. Untuk keberhasilan penggempuran ada beberapa ritual di Pura Uluwatu yang dilakukan raja dan ada beberapa kaul untuk dapat kesuksesan.

Pertama raja memohon ke Pura Uluwatu dan dianugerahi keris yang bernama Ki Cekle.

Dengan menggunakan keris itu Sasak pun ditaklukkan.

“Sasak tak mau mengalah dan meminta diadakan adu jangkrik. Raja menerima dan menggunakan jangkrik betulan, tapi di sana menggunakan jangkrik siluman sehingga sempat kalah dan kembali ke Uluwatu biar menang adu jangkrik,” jelasnya.

Saat itu konon ada sabta sesuhunan di Pura Uluwatu yang meminta raja ngereh lemah atau ngereh siang hari.

Raja menyanggupi dan setelah itu raja diminta mengambil pemicu (pengilitan) jangkrik di Pura Muaya Jimbaran, mencari makanannya di Pura Dalem Kesiman berupa jepun putih dan jangkrik berupa jangkrik kuning diambil di Padanggalak.

“Jangkirik diadu di sana dan berubah jadi Banaspati dan mengalahkan jangkrik siluman dan terbakar. Sebelum ada adu ada perjanjian kalau Kesiman kalah akan diambil Sasak dan jika Kesiman menang, Bugis dan Sasak akan dibawa ke Kesiman,” katanya.

Ekspansi tersebut terjadi sekitar 1860 dan sejak saat itu dilaksanakan upacara ngerebong yang merupakan upacara syukuran dan awalnya dilakukan di Puri Kesiman sebelum dipindah ke Pura Petilan Pengerebongan.

Dan berdasarkan catatan Belanda, era tahun itu kendali politik Bali dan Lombok memang berada di Kesiman. Akan tetapi saat adanya Puputan Badung, pelaksanaan ngerebong sempat berhenti beberapa waktu.

Tahun 1937 pengerebongan kembali digelar dan dilakukan di Pura Petilan karena saat itu pura ini selesai dibangun (*)

Berita lainnya di Berita Denpasar

Sumber: Tribun Bali
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved