Berita Bali

Event G20 Sebabkan Lalu Lintas Pengiriman Ternak Keluar Bali Ditutup, Gupbi Sampaikan Ini

Event G20 Sebabkan Lalu Lintas Pengiriman Ternak Keluar Bali Ditutup, Gupbi Sampaikan Ini

Penulis: Ni Luh Putu Wahyuni Sari | Editor: Harun Ar Rasyid
Wahyuni Sari
I Katut Hari Suyasa selaku Ketua GUPBI Bali saat ditemui di DPRD Provinsi Bali 

TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR - Gabungan Usaha Peternak Babi Indonesia (GUPBI) Bali hadiri Rapat Kerja Komisi II DPRD Provinsi Bali terkait penanganan Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) di Bali pada, Selasa 9 Agustus 2022 yang berlokasi di Ruang Rapat Gabungan Lantai III Gedung DPRD Provinsi Bali.

I Katut Hari Suyasa selaku Ketua GUPBI Bali mengatakan beberapa poin salah satunya, lalu lintas pengiriman hewan ternak keluar Bali yang masih dilarang oleh Pemerintah Pusat.

"Kemarin kita sempat berkomunikasi dengan pemerintah pusat kenapa kami dilarang, ini terkait G20. Kalau terkait G20, kita juga waswas dengan kunjung wisata karena Bali baru pulih wisatanya," jelasnya pada, 9 Agustus 2022.

Lebih lanjutnya ia mengatakan, bahwa ia tidak bisa mengesampingkan efek kerugian ekonomi terhadap peternak. Sementara ia juga menjelaskan jika sampai Australia terkena PMK maka Negara tersebut juga akan mengalami kerugian 50-100 Triluin dollar. Dimana hal tersebut menurutnya Bali harus mengkoreksi diri.

I Katut Hari Suyasa selaku Ketua GUPBI Bali saat ditemui di DPRD Provinsi Bali
I Katut Hari Suyasa selaku Ketua GUPBI Bali saat ditemui di DPRD Provinsi Bali (Wahyuni Sari)

"Apa yang harus kita lakukan agar kepercayaan internasional terhadap kita baik? Ada banyak hal yang bisa kita lakukan tapi kurang memperhatikan," tambahnya.

Ia membeberkan apa saja yang harus dilakukan oleh pemerintah untuk PMK ini. Seperti edukasi kepada masyarakat terkait PMK yang tidak sama pemahamannya. Dimana masyarakat ke bawah menurutny, sama sekali tidak memahami apa itu PMK. Peternak dinilai banyak yang tidak aware dan menganggap PMK ini biasa-biasa saja.

"Kita undang masyarakat tapi sedikit yang datang, gunakan kekuatan desa adat untuk mengundang mereka pasti datang," imbuhnya.

Kedua, terkait lalu lintas ternak dimana semua pihak tidak dapat melupakan disaat kemudian berbicara kesehatan hewan, namun melupakan kesejahteraan manusianya itu sendiri.

"Suka tidak suka, akui tidak diakui gerakan ekonomi Bali saat ini berasal dari sektor peternakan. Pelaku pariwisata yang terdampak mencoba menjadi peternak babi. Pada akhirnya saat ini mohon maaf karena terlalu lama dampak PMK dibiarkan," tandasnya.

Harga produksi ternak babi saat ini Rp. 40 ribu per kilogramnya dan harga terendah Rp 36 ribu per kilogramnya. Jika ini dibiarkan maka potensi harga Rp 30 ribu bisa terjadi dan ini sangat berbahaya.

Artinya ada dua hal yang harus diperhatikan. Pertama soal kesehatan hewan atau upaya antisipasi Bali bebas PMK meskipun tanggal 14 nanti bali menerima sertifikasi Golden bebas PMK.

"Apa ini memberikan dampak positif terhadap peternakan yang selama ini kita sudah tidak bisa bergerak. Perbulan babi yang harus terkirim ke luar daerah kita itu adalah 13 ribu ekor. Efek yang ditimbulkan Bali dilakukan lockdown itu harga dari Rp 51 ribu di Jakarta dalam waktu dua naik Rp 63 ribu untuk babi hidup," paparnya.

Lagi ia menegaskan, ini merupakan hal yang sangat serius karena Bali menguasai 90 persen produk daging yang ada di Jakarta. Dan Jakarta belum siap menarik produk frozen, dan Manado selama ini menjual peoduk babi frozen, namun kurang laku di Jakarta.

"Masalahnya kemudian baik mati ataupun hidup itu tidak diizinkan berlalu lintas di Bali. Selama tidak ada tulang, kulit, kepala dan kuku, tidak boleh dikirim sedangkan kalau kita kirim daging tok, ini enggak laku," katanya.

Ia meminta pada pemerintah agar menyampaikan pada pemerintah pusat terkait permohonan pembukaan lalu lintas pengiriman hewan ternak keluar Bali. Sementara itu ia juga turut menanggapi terkait pernyataan Senator Australia yang mengatakan di Bali banyak sapi dan kotorannya berkeliaran dijalanan.

"Soal Senator yang mengkritisi Bali, kita juga jangan terlalu reaktif atau negatif memikirkan. Kalau jujur kita cek di lapangan, tai (kotoran) sapi itu (masih ada) beredar di bukit. Memang tidak secara keseluruhan secara itu tetapi kita harus pahami," tutupnya. (*)

Baca juga: Tidak Kelola Limbah Dengan Baik dan Tak Berizin, Usaha Laundry di Kerobokan Badung di Tutup DLHK

BERITA LAINNYA

Sumber: Tribun Bali
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved