RUU KUHP
DPR Sahkan RKUHP, 12 Aturan Dianggap Bermasalah, Kumpul Kebo Hingga Kritik Pemerintah Dipertanyakan
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Indonesia akhirnya menyetujui Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) sebagai undang-undang (UU)
TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR – Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Indonesia akhirnya menyetujui Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) sebagai undang-undang (UU).
Pengesahan RKUHP ini dilakukan dalam pengambilan keputusan tingkat II yang dilakukan DPR dalam Rapat Paripurna ke-11 Masa Persidangan II Tahun Sidang 2022-2023, Selasa 6 Desember 2022.
Pengesahan RKUHP menjadi Undang-Undang ini dipimpin langsung oleh Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad.
Dalam sidang ini, dia menanyakan kepada setiap anggota fraksi yang hadir dalam rapat tersebut dan setuju atau tidak dengan keputusan yang sudah dibuat.
Baca juga: AJI Denpasar Gelar Aksi Tunggal di Bajra Sandhi, Tolak 17 Pasal Bermasalah Dalam RKUHP
"Selanjutnya, saya akan menanyakan kepada setiap fraksi apakah rancangan undang-undang tentang kitab hukum pidana dapat disetujui?" kata Sufmi Dasco Ahmad selaku pemimpin sidang dilansir dari Kompas pada Selasa 6 Desember 2022.
"Setuju," jawab peserta sidang diiringi ketukan palu Dasco tanda persetujuan.
Meskipun draft RKUHP sudah resmi berubah menjadi Undang-Undang, namun Koalisi Masyarakat Sipil menilai ada 12 aturan yang bermasalah dalam Undang-Undang tersebut.
Berdasarkan keterangan yang diterima Kompas.com, Senin 5 Desember 2022 lalu, berikut beberapa aturan yang dianggap bermasalah:
1. Pasal terkait living law atau hukum yang hidup di masyarakat.
Koalisi menganggap pasal itu membuka celah penyalahgunaan hukum adat.
“Keberadaan pasal ini dalam RKUHP menjadikan pelaksanaan hukum adat yang sakral, bukan lagi pada kewenangan masyarakat adat sendiri melainkan berpindah ke negara (yakni) polisi, jaksa, dan hakim,” demikian keterangan itu.
Tak hanya itu, koalisi menganggap aturan itu mengancam perempuan dan kelompok rentan lainnya.
“Sebagaimana diketahui, saat ini di Indonesia masih ada ratusan perda diskriminatif terhadap perempuan, dan kelompok rentan lainnya,” demikian isi keterangan itu.
Baca juga: Komunitas Masyarakat Sipil Bali Khawatir Pasal RKUHP Ini Bisa Lumpuhkan Kunjungan Wisatawan
2. Pasal soal hukuman mati
Koalisi masyarakat sipil menilai aturan itu tak sesuai dengan hak hidup seseorang. Padahal, banyak negara telah menghapuskan ketentuan hukuman mati dalam hukum pidananya.
3. Larangan penyebaran paham yang tak sesuai Pancasila
Dalam RKUHP, dimuat larangan penyebaran paham tak sesuai Pancasila, seperti ideologi komunisme atau marxisme atau leninisme.
Koalisi menganggap frasa ini bisa digunakan untuk mengkriminalisasi kelompok oposisi penguasa.
Sebab, tak ada penjelasan rinci soal frasa “Paham yang bertentangan dengan Pancasila,”.
4. Penghinaan terhadap pemerintah dan lembaga negara
“Pasal ini berpotensi menjadi pasal karet, dan menjadi pasal anti-demokrasi karena tidak ada penjelasan terkait kata ‘penghinaan'" kata dia.
Baca juga: RKUHP Check In Harus Pasangan Sah, Ini Kata Menparekraf Sandiaga
5. Soal contempt of court atau penghormatan pada badan peradilan
Koalisi menganggap aturan itu bermasalah karena tak ada penjelasan detail tentang frasa “penegak hukum”.
6. Soal kohabitasi atau hidup bersama di luar perkawinan
Pemerintah dinilai tak menyertakan penjelasan terkait frasa “Hidup bersama sebagai suami istri”.
Pasal ini disebut bakal membuka celah persekusi dan pelanggaran ruang privat masyarakat.
7. Ketentuan tumpang tindih dalam Undang-Undang (UU) Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE)
Mestinya, pasal-pasal karet dalam UU ITE sepenuhnya dicabut dan tidak dimasukkan dalam RKUHP.
8. Larangan unjuk rasa
Koalisi mendesak agar unjuk rasa tidak dikekang persoalan izin, tetapi diganti dengan pemberitahuan.
9. Aturan soal pelanggaran HAM berat
Koalisi menganggap unsur non-retroaktif dihilangkan.
Sebab, unsur tersebut membuat pelanggaran HAM berat masa lalu dan pelanggaran HAM berat masa kini yang ada sebelum RKUHP baru disahkan tak bisa diadili.
10. Pasal soal kohabitasi
Adapun pasal soal kohabitasi dalam RKUHP dinilai bisa membuat korban pelecehan seksual dianggap sebagai pelaku.
11. Meringankan ancaman bagi koruptor
RKUHP dianggap memberikan ancaman pidana yang terlalu ringan dan tak memberikan efek jera pada koruptor.
12. Korporasi sulit dihukum
Koalisi berpandangan ada berbagai syarat dalam RKUHP yang membuat korporasi sulit dimintai pertanggung jawaban atas tindak pidana tertentu.
Sebaliknya, lebih mudah membebankan tanggung jawab pada pengurus korporasi.
“Ini justru rentan mengkritisi pengurus korporasi yang tidak memiliki kekayaan sebanyak korporasi, dan pengurus dapat dikenakan atau diganti hukuman badan,” ujar koalisi.
“Pengaturan ini rentan mengendurkan perlindungan lingkungan yang mayoritas pelakunya adalah korporasi,” kata koalisi masyarakat sipil.
Koalisi Masyarakat Sipil menilai perlu adanya penilaian ulang terhadap beberapa aturan yang dianggap bermasalah ini agar kedepannya tidak dijadikan celah untuk melakukan tindakan yang melanggar hukum. (*)
Sebagian artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul RKUHP Disahkan Hari Ini, Berikut 12 Aturan yang Dianggap Bermasalah