Berita Denpasar

Istilah Coitus Interuptus Atau ‘KB Ancit’ Dikatakan Tidak Menjamin Tidak Terjadinya Kehamilan

Istilah Coitus Interuptus Atau ‘KB Ancit’ di Bali Dikatakan Tidak Menjamin Tidak Terjadinya Kehamilan

Penulis: Ni Luh Putu Wahyuni Sari | Editor: Fenty Lilian Ariani
ist
Kepala Perwakilan BKKBN Provinsi Bali, dr Ni Luh Gede Sukardiasih. 

TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR - Untuk percepatan target penurunan angka stunting, Badan Kependudukan Berencana Nasional (BKKBN) kembali gencar memberikan pelayanan Keluarga Berencana (KB) di awal tahun 2023 ini. Pelayanan KB ini tidak dipungut biaya alias gratis pada masyarakat. 

Selain itu pelayanan KB ini juga dinilai dapat meminimalisasi angka unmet need atau kebutuhan ber-KB yang tidak terpenuhi di Bali, yang menyentuh angka 17,9 persen. Pelayanan KB ini hanya difokuskan untuk pelayanan KB Metode Kontrasepsi Jangka Panjang (MKJP), antara lain IUD, implan, tubektomi, vasektomi.

Kepala Perwakilan BKKBN Provinsi Bali, dr Ni Luh Gede Sukardiasih mengungkapkan, kesadaran masyarakat Bali untuk ber-KB sudah sangat baik. Hal ini terbukti dengan angka kelahiran total (total fertility rate/TFR) Bali menyentuh 1,96 persen. 

“BKKBN Bali tetap gencar, dan secara terus menerus mempromosikan serta mensosialisasikan untuk ber-KB. Terutama kepada pasangan usia subur (PUS) baru, tentang alat kontrasepsi sebagai cara tepat untuk mengatur jarak kelahiran. Terutama KB pascapersalinan, sehingga angka unmet need bisa ditekan,” jelasnya pada, Selasa 24 Januari 2023. 

Lebih lanjutnya ia menerangkan terkait korelasi antara ber-KB dengan penurunan stunting, bahwa hal itu sangat berhubungan erat. Karena dengan ber-KB bisa mengatur jarak kelahiran ideal anak, minimal 3 tahun, sehingga sang ibu bisa mengasuh anaknya dengan baik. Seperti memberikan ASI sampai usia 2 tahun dengan nutrisi yang tepat. 

“Jarak ideal ini juga untuk mengoptimalkan tumbuhkembang anak, sehingga tidak menjadi stunting,” imbuhnya.

Dan jika tidak ber-KB, maka dikhawatirkan kehamilan berikutnya tidak bisa direncanakan. Apalagi dengan jarak dekat, maka berpotensi si anak tidak mendapatkan nutrisi dengan baik. Karena, jelas dia, sang ibu sedang hamil. 

“Jadi berpotensi keluarga yang mengasuh belum siap. Dari segi sosial ekonomi bisa saja belum siap akhirnya pola asuh anak dan juga ibu hamil tidak optimal. Ini meningkatkan resiko anak stunting,” jelasnya.

Ketika ditanyai dengan istilah di Bali yakni KB ‘ancit’, dimana senggama terputus (coitus interuptus), pihaknya menegaskan bahwa di BKKBN tidak mengenal istilah itu. Menurutnya, KB ‘ancit’ itu tidak menjamin tidak terjadinya kehamilan. Karena, lanjut dia, sperma itu sudah ada di dalam saat/sebelum interuptus. Pihaknya meyakinkan bahwa tidak ada alat maupun obat kontrasepsi yang menghambat pertemuan sel telur dan sperma yang memicu kehamilan.

“Jadi kemungkinan hamil pasti ada, sehingga terjadi kehamilan yang tidak diinginkan. Ya, dampak selanjutnya akan bisa saja terjadi aborsi, jika pasangan usia subur belum siap punya anak lagi. Kalau dipertahankan tetap hamil, tentunya perlu kebutuhan finansial yang lebih, termasuk kebutuhan-kebutuhan lainnya yang akan berdampak kepada bayi tersebut. Jadi sebaiknya tetap ber-KB agar bisa menjaga jarak minimal ideal melahirkan,” tutupnya. (*) 

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved