Pemilu 2024

Fahri Hamzah Sodorkan 3 Cara Atasi Mahalnya Politik, Lolos DPR RI Perlu Ongkos Sampai Rp 15 Miliar

Wakil Ketua Umum Partai Gelombang Rakyat (Gelora) Indonesia, Fahri Hamzah menegaskan, pesta demokrasi itu permainan yang mahal, karena mengakomodasi k

Istimewa
Fahri Hamzah 

TRIBUN-BALI.COM -  Wakil Ketua Umum Partai Gelombang Rakyat (Gelora) Indonesia, Fahri Hamzah menegaskan, pesta demokrasi itu permainan yang mahal, karena mengakomodasi keterlibatan publik secara lebih luas atau massif. Jadi politik itu, tidak bisa diletakan hanya sebagai permainan segelintir elite saja, tapi politik adalah permainan semua orang.

"Dibutuhkan dana jumbo untuk membiayai seseorang dalam kontestasi politik. Untuk biaya seseorang mendapat kursi di DPR RI saja, butuh dana keseluruhan sebesar Rp 11,6 triliun," kata Fahri Hamzah dalam keterangannya, Minggu (28/5).

Hal itu disampaikan Fahri Hamzah dalam program acara Your Money Your Vote bertajuk 'Uang Haram di Pusaran Pemilu 2024', Sabtu (27/5). Dikatakan Fahri Hamzah, ongkos minimal seorang calon Legislatif (Caleg) agar bisa duduk di Senayan mencapai miliaran rupiah, di mana kisarannya mulai dari Rp 5 miliar sampai Rp 15 miliar untuk DPR RI.

Menurut Fahri, biaya yang dikeluarkan sebesar itu sudah lazim dalam alam demokrasi saat ini, karena dana tersebut digunakan untuk membiayai logistik seperti pemberian bantuan dan sebagainya.

"Makanya, tak heran banyak orang kaya yang selalu terpilih menjadi anggota DPR RI, setiap Pemilu. Lantaran mereka punya kekuatan finansial. Tentu ada orang-orang kaya yang merem saja dia (menang)," ujarnya.

Baca juga: Patroli Gabungan Pastikan Tak Ada Bule Ugal-ugalan, Polres TNI & Satpol PP Sinergi Hingga Dini Hari

Baca juga: Doa Kedamaian Sambil Mengarak Patung Bunda Maria, Ratusan Umat Doa Rosario Nusantara Sejauh 1,3 Km

Fahri Hamzah
Fahri Hamzah (Istimewa)

"Eggak perlu ke Dapilnya, dia cuma kirim truk logistik, dia kirim uang, dia kirim segala macam. Dan orang ini di DPR RI nggak pernah berbicara, nggak pernah menyatakan pendapat, tapi setiap tanggal 20 Oktober per lima tahunan dia dilantik. Kenapa? Karena uangnya banyak betul orang ini," lanjut Fahri.

Fahri memperkirakan kalau di Indonesia, orang tidak punya uang Rp 5 triliun, tak bisa nyapres. Sebagai contoh, Fahri mengungkapkan ongkos yang diperlukan dalam pemilihan gubernur (Pilgub) mencapai puluhan hingga ratusan miliar, tergantung besar kecil provinsi. Oleh sebab itu tak heran, untuk pemilihan presiden (Pilpres), minimal seorang Capres butuh uang minimal sebesar Rp 5 triliun.

Dari mana uang sebanyak itu? Kata Fahri, kalau seorang Capres uangnya bukan uang pribadi, melainkan dikumpulkan dari berbagai donatur. Meski di belakang nanti akan ada hubungan dengan power (kekuasaan) dan policy (kebijakan) yang akan dibuat oleh negara dan pemerintah.

Dengan model demokrasi begini, Fahri menyebut, pertarungan dalam memilih pemimpin itu bukan soal adu gagasan, tapi adu logistik. Karena itu, lanjut dia, harus dipikirkan secara serius bagaimana caranya membiayai yang mahal di dalam demokrasi ini, supaya biaya mahal itu justru tidak menjadi sumber korupsi.

Menurut dia, regulasinya yang masih tanggung harus disempurnakan, juga regulasi-regulasi lain yang berkaitan dengan pembiayaannya sendiri. Sebetulnya ada tiga cara pembiayaan, yakni 100 persen dibiayai negara, dibiayai oleh fully by market atau sepenuhnya dibiayai pasar dan pembiayaan dengan sistem hibryd.

Pembiayaan yang dibiayai 100 persen oleh negara, Fahri menyebut seperti yang tengah dirancang Parlemen Malaysia yang tengah memulai pembahasan tentang pembiayaan 100 persen oleh negara, karena mereka mulai khawatir keterlibatan dari tim dirty money dan ilegal money ke dalam pemilihan di Pemilu dan partai politik.

Masih menurut Wakil Ketua DPR RI periode 2014-2019 ini, adalah yang ekstrem lagi dibiayai oleh fully by market atau sepenuhnya oleh pasar, seperti yang terjadi di Amerika Serikat. Tetapi tentunya harus ada regulasi yang ketat agar dana yang dikumpulkan untuk kegiatan Pemilu, tidak boleh jatuh kepada pembiayaan pribadi.

"Sedang pembiayaan dengan sistem hibryd, sepertinya kita ingin memakai ini, tapi regulasinya itu tidak ketat sehingga pelibatan uang ilegal di dalam Pemilu di kita itu masih terlalu ketat, terutama yang tidak disadari adalah pembiayaan Pemilu berbasis kepada uang pribadi," ucapnya.

"Sehingga dalam Pemilu kita itu sebenarnya fighting between kandidat itu atau pertarungan antar kandidat, lebih merupakan pertarungan pribadi yang lama-lama kemudian orang menyadari bahwa karena kita gagal agregasi politik gagasan di dalam pemilu, akhirnya orang lari kepada politik uang politik logistik gitu," pungkasnya. (tribunnews)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved