Profil

Kisah Mendiang Jro Mangku Dewa Made Rauh yang Berpulang Pada Usia 101 Tahun

 Jro Mangku Dewa Made Rauh menghembuskan nafas terakhir, pada Selasa (30/5/2023) setelah sempat dilarikan ke RSUD Sanjiwani Gianyar.

Istimewa
Mendiang adalah pemangku Pura Khayangan Jagat Pengukuran-ukuran, Banjar Sawagunung, Desa Pejeng Kelod, Kecamatan Tampaksiring, Jro Mangku Dewa Made Rauh meninggal dunia pada usia 101 tahun. 

Prasasti Ambang Pintu yang sekarang berada di Candi Agung di Utamaning Mandala Pura Pengukuran-ukuran dan Prasasti Kintamani.

Disebut Prasasti Ambang Pintu karena kemungkinan dahulu terletak pada sebuah pintu gerbang (pamedal) Pura Pengukur-ukuran.

Prasasti itu tergolong singkat karena terdiri hanya 3 baris, namun mengandung suatu keunikan.

Pada Prasasti Pengukur-Ukuran dalam menyebutkan angka tahunnya dimulai, dengan kalimat “Swasti Cri Caka Warsatitanagata wartama” yang artinya “Selamat bahagia tahun caka yang lalu yang akan datang dan yang sedang berjalan”.

Berdasarkan penanggalan yang terdapat pada Prasasti Pengukur-Ukuran, yaitu;

“Wraspati Wage Pujut, Penanggalan Ping Lima Sasih Kawulu, Tahun 1116 Caka atau sekitar 12 Februari 1194 Masehi.

Berdasarkan Prasati, bahwasannya pura ini sebelumnya bernama Pasraman Dharmma Hanyar. Hal ini dapat diketahui dalam kalimat "Mpungkwing Dharmma Hanar” yang artinya “Pendetaku di Dharmma Hanyar” yang bergelar Maha Rsi Jiwaya.

Pura Pangukur-ukuran.
Pura Pangukur-ukuran. (doc pribadi Noviantari)

Pasraman yang dekat dengan aliran Tukad Pakerisan ini, dijadikan tempat menempa kempuan. Kisahnya, pada jaman pemerintahan Prabu Sri Astasura Ratna Bumi Banten pada awal abad ke-14 ada keturunan dari Arya Karang Buncing, yang bernama Kebo Iwa (Kebo Taruna).

Kebo Iwa melamar menjadi patih di kerajaan Bedahulu namun tidak diterima begitu saja tanpa melalui ujian kesaktian terlebih dahulu. Nah, untuk mengukur kesaktiannya inilah, prajurit dan orang-orang yang dianggap sakti di kerajaan Bedahulu termasuk Perdana Menteri Ki Pasung Gerigis yang sangat terkenal kesaktiannya pun dipanggil ikut mengujinya.

Dalam ujian tersebut tidak ada yang mampu mengalahkan Kebo Iwa, bahkan banyak lawannya harus meregang nyawa.

Saking banyaknya, jasad para korban sampai tertumpuk seperti gunung. "Cerita ini pula yang diyakini menjadi cikal bakal nama Banjar Sawagunung. Sawa artinya jasad, gunung ya menggunung karena saking banyaknya," jelas Dewa Gede Raka, pensiunan BUMN ini. (*)

Sumber: Tribun Bali
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved