Berita Buleleng
Ratusan Petani di Subak Sambangan Buleleng Mengeluh Tak Bisa Tanam Padi
Tercatat total luas lahan pertanian di Subak Sambangan sejatinya mencapai 90 hektar milik dari 129 petani.
Penulis: Ratu Ayu Astri Desiani | Editor: Putu Dewi Adi Damayanthi
TRIBUN-BALI.COM, SINGARAJA - Ratusan petani yang tergabung di Subak Sambangan, Desa Sambangan, Kecamatan Sukasada, Buleleng, Bali tidak bisa menanam padi.
Hal ini terjadi lantaran krisis air akibat musim kemarau berkepanjangan.
Kelian Subak Sambangan, I Putu Wenten ditemui Selasa 31 Oktober 2023 mengatakan, pada bulan September dan Oktober ini seharusnya sudah memasuki musim tanam, sehingga padi bisa dipanen pada akhir Desember.
Namun akibat krisis air bersih, banyak lahan pertanian yang tidak bisa ditanami padi.
Baca juga: Padi Gagal Panen, Cabai Layu dan Mati, Kemarau Panjang Memukul Habis Para Petani
Tercatat total luas lahan pertanian di Subak Sambangan sejatinya mencapai 90 hektar milik dari 129 petani.
Namun yang bisa ditanami padi hanya empat hektar.
Pihaknya pun sejatinya telah berupaya meminta bantuan air dari subak lain, namun rupanya tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan seluruh petani.
"Saya selalu mendapat keluhan dari para petani, karena tidak dapat air. Tapi mau bagaimana lagi, saya juga bingung debit air sangat kecil. Sudah minta bantuan air dari subak yang lain tetap tidak cukup," katanya.
Akibat kondisi ini petani pun terpaksa beralih ke tanaman lain yang irit akan air. Seperti jagung, kacang dan bunga pacar air.
Petani tidak ingin mengambil risiko dengan memaksakan diri untuk menanam padi, sebab khawatir gagal panen.
Wenten menyebut bila dibandingkan dengan menanam padi, keuntungan yang didapat sejatinya lebih besar. Terlebih saat ini harga gabah naik.
Gabah yang dihasilkan dari satu are lahan pertanian kini mampu terjual hingga Rp 200 ribu.
"Harga gabah sekarang naik. Kalau harga normal per arenya itu Rp 150 ribu, sekarang tembus di angka Rp 200 ribu. Kalau untuk hitungan satu hektar bisa dapat untung Rp 20 juta. Sementara kalau nanam jagung untungnya lebih sedikit, tapi mau bagaimana lagi tidak air jadi tidak bisa tanam padi," terang Wenten.
Selain berdampak pada pertanian, musim kemarau akibat dampak fenomena El Nino ini juga menyebabkan sebagian masyarakat sulit untuk mengakses air bersih untuk kebutuhan sehari-hari.
Air yang dikelola baik oleh desa maupun Perumda Tirta Hita Buleleng juga sering mati.
Untuk mandi dan mencuci pakaian, Wenten mengaku terpaksa melakukannya di kali.
"Air di rumah juga sering mati. Setiap hari ada saja mati, paling lama bisa sampai setengah hari. Jadi bisa setengah hari juga keluarga saya tidak mandi, atau mandi di kali. Kalau untuk masak, nampung air pakai gentong," ungkapnya.
Terpisah salah satu petani di Desa Sambangan bernama Made Kartini (55) menyebut saat musim kemarau ini dirinya memilih untuk menanam bunga pacar air, di lahan seluas 50 are miliknya.
Bunga pacar air dipilih sebab keuntungan yang didapat cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarganya sehari-hari.
Selain itu bunga pacar air hanya perlu disiram dua kali dalam seminggu.
"Pacar air bisa dipanen dalam waktu 90 hari. Dijual ke pengepul dapat untung Rp 5 juta, lumayan untuk kebutuhan makan keluarga dari pada lahannya tidak digunakan sama sekali hanya karena dampak kekeringan," tandasnya. (rtu)
Kumpulan Artikel Buleleng
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.