Hari Pahlawan

I Gusti Ngurah Made Agung, Berperang Melawan Belanda dengan Jiwa dan Sastra

Raja Denpasar ke-VI, I Gusti Ngurah Made Agung bukan hanya sosok pahlawan yang berjuang dengan jiwa raga, namun juga berjuang lewat karya sastra.

Ist/Dok Pribadi
Penekun lontar yang sekaligus Dosen Fakultas Ilmu Budaya Unud, I Putu Eka Guna Yasa 

TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR - Raja Denpasar ke-VI, I Gusti Ngurah Made Agung bukan hanya sosok pahlawan yang berjuang dengan jiwa raga, namun juga berjuang lewat karya sastra.

Pahlawan yang saat gugur bergelar Ida Tjokorda Mantuk Ring Rana ini juga berjuang melawan kolonialisme Belanda lewat karya sastra yang ditulisnya.

Baca juga: Belanda Kembalikan Ratusan Pusaka Indonesia, Menunggu Pulangnya Keris Puputan Klungkung

Ada 7 karya yang ditulis semasa hidup yakni Geguritan Dharma Sasana, Geguritan Niti Raja Sasana, Geguritan Nengah Jimbaran, Geguritan Purwa Sanghara, Kidung Loda, Kakawin Atlas, dan Geguritan Hredaya Sastra.

Penekun lontar yang sekaligus Dosen Fakultas Ilmu Budaya Unud, I Putu Eka Guna Yasa mengatakan semua karya sastra yang ditulisnya tersebut mencerminkan usaha perjuangan melawan penjajahan Belanda.

Baca juga: Teka-teki Keris Puputan Klungkung, Niat Merawat Pusaka yang Sempat Hilang

“Sebelum Puputan Badung meletus, beliau sudah berperang di dunia literasi. Banyak karyanya yang menyiratkan tentang penolakannya terhadap penjajahan,” kata Guna Yasa yang diwawancarai Rabu, 8 November 2023.

Bahkan yang dituliskannya di dalam karyanya, juga diterapkan dalam kenyataan, salah satunya lewat Puputan Badung.

Ia menulis salah satu sesana atau syarat menjadi pemimpin adalah Giri Brata yang bermakna seorang raja pantang menyerah dalam pertempuran membela kebenaran.

Baca juga: Ida Dalem Semara Putra Berharap Keris Peninggalan Perang Puputan Bisa Dipulangkan ke Klungkung

Guna Yasa menyebut, karya yang dihasilkan pahlawan nasional ini sangat monumental bagi sastra Bali purwa dan penuh kejutan.

Karya Geguritan Nengah Jimbaran mengisahkan sosok I Nengah Jimbaran dari Tampak Gangsul yang ditinggal mati istri karena kolera.

Nengah Jimbaran kemudian mencari istrinya tersebut hingga ke kahyangan dan bertemu bidadari yang kemudian membantunya dalam hidup hingga bisa menjadi penguasa di desanya.

Baca juga: Keris Luk 5 Untuk Suwirta di Hari Puputan Klungkung

“Geguritan ini sangat spesial, karena menggunakan bahasa Melayu. Biasanya geguritan ditulis dalam bahasa Jawa Kuno, bahasa Sansekerta atau bahasa Bali,” katanya.

Menariknya, geguritan ini ditulis tahun 1903 hingga 1905, atau selesai setahun sebelum perang Puputan Badung meletus yang membuatnya gugur di medan perang.

Karya kedua yakni Geguritan Niti Raja Sasana yang memuat tentang ilmu politik kepemimpinan dan tata negara.

Termasuk memuat brata 16 yang harus dijalani oleh seorang pemimpin.

“Brata 16 ini melipatgandakan ajaran Asta Brata yang dimuat dalam Ramayana. Di sinilah Giri Brata tersebut beliau tuliskan, yakni tidak mundur saat peperangan dan dilakoni saat Puputan Badung,” jelasnya.

Halaman
12
Sumber: Tribun Bali
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved