Ogoh Ogoh di Bali

Mulanya Digunakan Untuk Pengabenan, Ini Makna Ogoh-ogoh Untuk Hari Suci Nyepi

Mulanya Digunakan Untuk Pengabenan, Ini Makna Ogoh-ogoh Untuk Hari Suci Nyepi

Penulis: Ni Luh Putu Wahyuni Sari | Editor: Fenty Lilian Ariani
Istimewa
Walikota Denpasar, I Gusti Ngurah Jaya Negara, Wakil Walikota Denpasar, I Kadek Agus Arya Wibawa dan Ketua DPRD Kota Denpasar, I Gusti Ngurah Gede saat membuka secara resmi gelaran Kasanga Festival Caka 1946 Tahun 2024 di Kawasan Catus Pata Catur Muka Denpasar, Jumat (1/3). 

TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR - Ogoh-ogoh dan Hari Suci Nyepi saling berkaitan. Ogoh-ogoh menjadi salah satu tradisi masyarakat Bali dalam rangka menyambut perayaan Hari Raya Suci Nyepi.

Tradisi ogoh-ogoh yang diselenggarakan sebelum perayaan Nyepi ini memiliki makna dan sejarahnya.

Lantas apa makna ogoh-ogoh pada Hari Raya Nyepi itu?

Sulinggih Ida Pandita Mpu Siwa Budha Daksa Darmita dari Geria Agung Sukawati, Gianyar menjelaskan sejatinya ogoh-ogoh yang dibuat setiap perayaan Hari Suci Nyepi tidak ada hubungannya dengan agama.

Bahkan, tidak ada dalam lontar bahwa ogoh-ogoh tersebut berkaitan dengan agama.


Namun, ogoh-ogoh yang dibuat oleh para seniman atau yowana dimaknai sebagai simbolis bhuta kala yang melambangkan kekuatan buruk, ketidakmurnian, ketidaksadaran yang dapat mempengaruhi hidup manusia.

Sehingga manusia mampu berfikir dharma bukan adharma, menjaga diri setiap saat/waktu, berfikir dan bertindak positif bukan angkaramurka.

“Ogoh-ogoh merupakan kreativitas para seniman yang dihubungkan dengan bhuta kala, dan tidak berkaitan dengan agama. Di lontar, seniman ogoh-ogoh itu hanya mencari nama-nama bhuta kala yang ratusan namanya,” jelasnya pada, Jumat 1 Maret 2024. 

Ida Sulinggih mengungkapkan bahwa pada mulanya ogoh-ogoh biasanya digunakan pada upacara pitra yadnya atau pengabenan.

Namun, sejak Hari Suci Nyepi tahun 1983 ogoh-ogoh digunakan sebagai simbolis butha kala yang diarak atau diparadekan mengelilingi wewidangan desa untuk mengusir butha kala yang dilakukan pada malam hati sehari sebelum Hari Suci Nyepi atau pengrupukan.

Dalam pelaksanaan tradisi ogoh-ogoh biasa dilakukan dengan ngarak atau parade. Pelaksanaan ngarak ogoh-ogoh memiliki filosofi yang diharuskan untuk manusia saling menjaga alam dan sumber daya untuk tidak merusak lingkungan sekitarnya.

Ngarak ogoh-ogoh dilakukan dengan diarak keliling desa maupun dipentaskan.

Untuk yang mengarak biasanya akan meminum arak untuk menandakan sifat buruk dari dalam diri manusia.Berat yang dipikul saat mengarak akan diakhiri dengan membakar ogoh-ogoh tersebut sampai habis.

Ngarak ogoh-ogoh ini juga diadakan dari sore sampai malam hari.

Ida Sulinggih, mengatakan bahwa pada awalnya ogoh-ogoh terbuat dari kerangka kayu dan bambu yang dibungkus dengan kertas-kertas. Namun, seiring perkembangan zaman, bahan-bahan yang digunakan untuk membuat ogoh-ogoh juga semakin berkembang. Masyarakat Bali kini menggunakan bahan berupa besi dan bambu yang telah dirangkai menjadi ayaman dan dibungkus dengan gabus atau stereofoam dan dicat. Bahkan, ogoh-ogoh dibuat dengan memadukan mesin dan teknologi, sehingga ogoh-ogoh bisa bergerak sendiri dengan bantuan mesin. Ini merupakan kreativitas para seniman atau yowana yang inivatif dalam mengembangkan pembuatan ogoh-ogoh yang patut diapresiasi.(*)

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved