Berita Bali

The Famous Squatting Dance: Merayakan Marya, Festival Menelusuri Jejak Maestro Tari Ketut Mario

“The (Famous) Squatting Dance: Jung Jung – Te Jung” oleh Mulawali Performance Forum menggunakan basis material arsip tari Igel Jongkok.

Tribun Bali/Putu Supartika
Konferensi pers Merayakan Marya di ITB Stikom Bali - The Famous Squatting Dance: Merayakan Marya, Festival Menelusuri Jejak Maestro Tari Ketut Mario 

TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR- Sampai saat ini, I Ketut Marya atau Ketut Mario atau I Mario dikenal sebagai seorang pencipta tari Kebyar Duduk hingga Oleg Tambulilingan.

Sosok yang berasal dari Banjarangkan Klungkung ini berkelana di berbagai daerah di Bali dan kemudian namanya menjadi besar di Tabanan, Bali.

Melalui kolaborasi dengan lembaga Arsip Bali 1928, Gurat Institute, Bang Dance, Ninus, ITB Stikom Bali serta sejumlah seniman dan sanggar tari di Bali, Mulawali Institut akan membuat festival untuk menampilkan jejak I Mario.

Festival bertajuk “The (Famous) Squatting Dance: Merayakan Marya” ini akan digelar di Puri Agung Kaleran Tabanan, tanggal 26-28 April 2024.

Baca juga: ISI Denpasar Garap Drama Tari Dewa Mesraman dan Beri Pelatihan Bahasa Inggris

Direktur Artistik Mulawali Institute, Wayan Sumahardika memaparkan, pencarian tentang sosok I Mario ini diisiniasi sejak tahun 2019 sebagai platform riset.

Kemudian dikembangkan menjadi produksi pertunjukan tahun 2021 melalui karya “The (Famous) Squatting Dance: Jung Jung – Te Jung”.

Pertunjukan ini berangkat dari arsip tari Igel Jongkok atau yang kini dikenal Kebyar Duduk karya maestro Bali I Ketut Marya.

Menurutnya, sosok I Mario merupakan maestro tari kontemporer Bali yang tumbuh di era transisi Bali dari kerajaan menjadi wilayah jajahan kolonial.

"Marya sendiri dikenal lantaran karya tari monumentalnya seperti Igel Jongkok/Kebyar Duduk, Kebyar Terompong, dan Oleg Tamulilingan," kata Sumahardika saat konferensi pers, Sabtu 13 April 2024 di ITB Stikom Bali.

Ia menambahkan, praktik yang sebelumnya berorientasi pada produksi pertunjukan tunggal, kemudian dikembangkan lebih lanjut menggunakan pendekatan dramaturgi festival bertajuk “The (Famous) Squatting Dance: Merayakan Marya” ini.

Dalam kegiatan ini pihaknya akan menghadirkan serangkaian program seperti pameran arsip, pertunjukan, workshop, dan diskusi bertempat di Puri Kaleran, Tabanan.

"Pilihan penyelenggaraan kegiatan di Puri Kaleran, Tabanan ini pun tak bisa dilepaskan dari konteks sejarah proses kreatif Marya di masa lalu," katanya.

Marlowe Bandem bersama Arsip Bali 1928 akan menampilkan pameran arsip karya I Marya.

Sementara Gurat Institute melaui Gurat Artproject akan merespon sosok Marya ke dalam karya instalasi seni rupa.

Ada juga program workshop Kebyar Duduk, napak tilas serta sejumlah diskusi tentang pengembangan dan pemanfaatan arsip karya dan sosok I Marya melalui pertunjukan oleh sejumlah seniman, akademisi, dan budayawan.

Selama tiga hari, acara juga akan menampilkan pertunjukan berbasis arsip dan karya I Marya.

Beberapa diantaranya adalah “The (Famous) Squatting Dance: Jung Jung – Te Jung Dance” oleh Mulawali Performance Forum; Bee Dances oleh Ninus kolaborasi bersama Sanggar Sunari Wakya dan Komunitas Seni Arjuna Production; “Sejak Padi Mengakar” oleh Bang Dance; serta Tari Kebyar Duduk dan Kebyar Terompong oleh Sanggar Haridwipa.

“The (Famous) Squatting Dance: Jung Jung – Te Jung” oleh Mulawali Performance Forum menggunakan basis material arsip tari Igel Jongkok.

Pertunjukan yang disutradarai oleh Wayan Sumahardika ini menawarkan pembacaan atas arsip tari Igel Jongkok dalam bingkai gestur kolonial, situasi transisional yang bergerak secara sirkular, serta bentang kemungkinannya untuk dilihat sebagai keberlanjutan dari kultur lokal.

Jung Jung-Te Jung sendiri diambil dari bunyi tabuhan dalam tari Bali gubahan baru sebelum mengalami penamaan baru seperti Igel Jongkok hingga Kebyar Duduk.

Proses penamaan ini tak hanya menyentuh persoalan praktik koreografi, tapi juga bagaimana interaksi Barat, modernitas, tradisi, dan komunalitas saling-silang di dalamnya.

Penelusuran ini ditawarkan dalam bentuk naratif performatif melalui tubuh (penari) Bali hari ini.

“Bee Dances” merupakan kolaborasi perdana antara koreografer Indonesia, Ninus dan Kareth Schaffer yang merupakan koreografer yang berbasis di Berlin.

“Bee Dances” menelisik bagaimana pertukaran budaya di masa pasca-kolonial dimungkinkan.

Sementara karya tari “Sejak Padi Mengakar” karya koreografer Gus Bang Sada akan menampilkan isu kritis tentang kenyataan alih fungsi lahan pertanian di Bali secara massif.

Ibarat padi yang semakin berisi semakin merunduk, Gusbang ingin melihat perubahan yang terjadi dari segala sisi tentang keberadaan pangan dan lingkungan.

Secara artistik, pertunjukan ini menawarkan sikap duduk yang dipinjam dari salah satu sikap tari tradisi Bali (Kebyar Duduk) untuk menyatakan sikap kepemilikan atas lahan sekaligus bentuk adaptasi tubuh atas ruang yang mulai berubah.

Ia menambahkan, dalam kesempatan ini juga akan dibicarakan tentang mitos-mitos yang tersebar tentang sosok I Mario.

Sementara itu, Marlowe Banden dari Arsip Bali 1928 mengatakan Igel Jongkok saat ini hampir berusia satu abad.

Dalam festival ini akan dihadirkan ruang kolaborasi publik dengan melibatkan masyarakat umum.

"Bagi masyarakat yang memiliki arsip tentang Tabanan atau pun I Marya, silakan dibawa untuk dipamerkan," katanya.

Sementara sastrawan I Made Adnyana Ole menambahkan, gerakan yang dilakukan I Mario dilakukan sampai batas kemampuan manusia dalam tariannya.

"Kebyar Duduk yang ada hari ini berbeda dengan apa yang dilakukan I Mario. Sekilas tampak sama, tapi sebenarnya tidak," katanya. (*)

Kumpulan Artikel Denpasar

Sumber: Tribun Bali
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved