Bisnis

NERACA Perdagangan RI Kian Terkikis! Waspadai Imbas Ketegangan Iran-Israel

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, surplus neraca perdagangan Indonesia pada Februari 2024 sebesar 0,87 miliar dolar AS, terus turun dari Januari.

ANTARA FOTO/Asprilla Dwi Adha
PERDAGANGAN TERKIKIS - Suasana aktivitas peti kemas di Pelabuhan Tanjung Priok Jakarta, baru-baru ini. Kondisi neraca perdagangan Indonesia akan semakin terkikis, imbas serangan Iran terhadap Israel. 

TRIBUN-BALI.COM - Ekonom Universitas Indonesia Bambang Brodjonegoro mewanti-wanti kondisi neraca perdagangan Indonesia akan semakin terkikis, imbas serangan Iran terhadap Israel, membuat kedua negara tersebut memanas.

Bambang yang pernah menjabat sebagai Menteri Keuangan periode 2014-2016 itu menyampaikan, sebelum ada ketegangan Iran-Israel, surplus neraca perdagangan Indonesia memang makin lama semakin menipis, dan sudah ada di bawah 1 miliar dolar AS.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, surplus neraca perdagangan Indonesia pada Februari 2024 sebesar 0,87 miliar dolar AS, terus turun dari Januari 2024.

Kondisi neraca perdagangan Indonesia tersebut selanjutnya, akan semakin turun akibat adanya ketegangan Iran dan Israel.

Bambang khawatir, Indonesia tidak akan bisa melanjutkan tren surplus neraca perdagangan yang sudah berlangsung 23 bulan berturut-turut.

“Jadi ini suatu lampu kuning. Kalau kita melihat dari kondisi saat ini (ketegangan Israel-Iran), agak sulit melihat neraca perdagangan kita akan membaik,” tutur Bambang dalam agenda Ngobrol Seru Dampak Konflik Iran-Israel ke Ekonomi RI, Senin (15/4).

Hal ini juga perlu menjadi perhatian karena kinerja neraca perdagangan Indonesia secara eksternal akan dilihat dari keseimbangan current account atau neraca transaksi berjalan yang merupakan gabungan dari neraca perdagangan barang dan jasa.

Baca juga: KUNKER ke Italia Saat APBD Defisit Rp 1,9 Triliun, Sekwan Jawab Soal Perjalanan 5 Anggota DPRD Bali

Baca juga: SIMPAN Sabu-sabu di Kos Pacar, JPU Tuntut 7 Tahun dan 2 Bulan Penjara Bagi Wayan Budiarta 

Bambang menjelaskan, saat ketegangan ini terjadi, harga-harga akan menjadi naik dan kemungkinan membuat distribusi terganggu, terutama melalui laut merah atau Selat Hormuz. Disamping itu, era komoditi boom juga sudah berakhir dan tentunya tidak akan begitu menguntungkan Indonesia.

“Ditambah dengan suku bunga tinggi membuat permintaan global melemah, sehingga ekspor kita, baik manufakturing maupun komoditas, tidak punya prospek bagus, meskipun terjadi pelemahan rupiah,” jelasnya.

Ia menambahkan, biasanya kondisi rupiah yang melemah akan menguntungkan kinerja ekspor, namun ini tidak berlaku bagi Indonesia. Masalahnya, ekspor Indonesia didominasi produk komoditas dan bukan produk manufaktur, sehingga melemahnya rupiah tidak terlalu membantu daya saing, terutama produk manufaktur.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Esther Sri Astuti mengatakan, konflik Timur Tengah antara Iran-Israel tentu sangat berpengaruh terhadap perekonomian Indonesia, terutama pada harga energi. Pasalnya, Indonesia masih menjadi salah satu negara pengimpor minyak meski memiliki sumber energi tersebut.

"Hitungan kasar saya akan ada kenaikan subsidi energi sebanding kenaikan harga minyak yaitu sekitar 26 persen hingga 32 persen," kata Esther kepada Kontan, Minggu (14/4).

Terkait konflik tersebut, dirinya mengatakan hal utama yang harus dilakukan pemerintah adalah merevisi asumsi indikator makro ekonomi di Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Indonesia (APBN) dan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS.

"Kedua indikator itu berdampak pada kenaikan anggaran APBN khususnya belanja terkait subsidi BBM, energi, impor dan lainnya. Apalagi besarnya cicilan utang luar negeri dan bunga juga meningkat. Belum lagi berbagai belanja pemerintah terkait infrastruktur dan belanja pembangunan lainnya juga akan meningkat," jelasnya.

Maka dari itu, Esther menyarankan agar anggaran dapat dialokasikan ke aktivitas yang lebih produktif, sehingga bisa meraup pendapatan lebih banyak. Selain itu, perlu adanya dorongan ekspor produksi industri dalam negeri.

"Anggaran (perlu) dikelola secara efisien dan hindari pemborosan," ucapnya.
Dia berpendapat bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia sepanjang 2024 masih berada di level 4,8 persen hingga 5 persen dengan berbagai kalkulasi, termasuk tekanan dari konflik Iran-Israel. (kontan)

Pengaruhi Harga Minyak

IRAN meluncurkan ratusan drone dan rudal balistik ke Israel, Sabtu (13/4) malam sebagai misi balasan atas serangan udara pada 1 April lalu. Serangan tersebut dinilai bakal menimbulkan dampak perekonomian global, termasuk Indonesia.

Kepala Ekonom Bank Central Asia (BCA), David Sumual mengatakan, Iran merupakan salah satu negara penghasil minyak dunia. Adanya konflik antara Iran-Israel tentunya akan mengganggu pasokan minyak global dan berdampak pada trade balance atau neraca perdagangan Indonesia.

"Pengaruh ke harga minyak itu lumayan besar, termasuk letaknya yang strategis di selat Hormuz dikhawatirkan mengganggu pasokan minyak global. Untuk ekonomi Indonesia dikhawatirkan ada kenaikan harga produk yang kita impor lebih tinggi dibandingkan produk yang kita ekspor, maka akan mengganggu trade balance," kata David kepada Kontan, Minggu (14/4).

David menilai secara fundamental perekonomian Indonesia masih relatif solid bila melihat cadangan devisa masih di atas 140 miliar dolar AS. Kendati demikian, perlu ada penyesuaian dari sisi kebijakan fiskal terutama untuk merespons kenaikan harga minyak, termasuk pada penyesuaian harga Bahan Bakar Minyak (BBM).

"Mungkin dari sisi anggaran fiskal perlu ada penyesuaian termasuk kemungkinan terburuk yaitu penyesuaian BBM, karena harga minyak cenderung naik dan rupiah melemah. Mungkin perlu ada realokasi dari sisi anggaran," ujarnya.

Dalam perhitungannya, setiap rupiah yang melemah sebesar Rp 500 dan harga minyak naik 10 dolar AS per barel, maka anggaran subsidi atau kompensasi diproyeksi meningkat Rp 100 triliun.

"Dengan rupiah mencapai sekitar Rp 16.000 dan minyak 92 dolar AS saja defisit sekitar 2,5 persen produk domestik bruto (PDB)," kata dia.

Sementara itu, dirinya berpendapat bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia sepanjang 2024 masih berada di level 5 persen hingga 5,2 persen dengan berbagai kalkulasi, termasuk konflik Iran-Israel. (kontan)

Sumber: Kontan
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved