bisnis

Harga Diprediksi Naik 30 Persen! Perkiraan GAPMMI Setelah Cukai Minuman Berpemanis Diterapkan

Adhi mengatakan, pajak sebesar Rp 600-an per botol adalah perhitungan kasar untuk kenaikan harga dari pabrik, bukan harga yang akan dibebankan.

KONTAN/Cheppy A Muchlis
MINUMAN BERPEMANIS - Konsumen mengamati produk minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK) di sebuah toko ritel modern di Bekasi, Jawa Barat, beberapa waktu lalu. Cukai minuman berpemanis diterapkan, GAPMMI memprediksi harga produk terkerek 30 persen. 

TRIBUN-BALI.COM - Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Seluruh Indonesia (GAPMMI), Adhi Lukman mengatakan penerapan cukai untuk produk Minuman Berpemanis Dalam Kemasan (MBDK) akan berdampak pada kenaikan harga produk hingga 30 persen.

Ini seolah menepis pernyataan Direktur Jenderal Industri Agro Kementerian Perindustrian (Kemenperin), Putu Juli Ardika yang menyebutkan pnerapan cukai minuman berpemansi sebesar Rp 1.771 per liter akan  berpotensi menggerek harga produk sekitar 6-15 persen. Adhi pun membantah perhitungan tersebut. Menurutnya, kenaikan yang dialami akan lebih tinggi dari perhitungan tersebut.

"Lebih (lebih dari 6-15 persen) kalau Rp 1.700-an per liter (pajaknya), berarti kalau minuman 350 ml (mililiter), ini biasanya yang paling banyak (produk paling banyak dipasaran) berarti, Rp 1.700 (pajak) dibagi 3, berarti sekitar (pajak) Rp 600-an per botol," ungkap Adhi saat ditemui Kontan dalam acara pers conference Food Ingredients Asia Indonesia (FIA) di kawasan Jakarta Pusat, Senin (19/8).

Adhi mengatakan, pajak sebesar Rp 600-an per botol adalah perhitungan kasar untuk kenaikan harga dari pabrik, bukan harga yang akan dibebankan pada konsumen. Sedangkan kenaikan harga jika sudah sampai ke konsumen bisa membengkak.

Baca juga: MANTAN Pengacara Brigadir J Dilantik Jadi Anggota DPRD Denpasar, Akan Sumbang Sebagian Gajinya

Baca juga: Upaya Tutupi Defisit Tahun 2025! Pemerintah Harus Terbitkan SBN Bruto Rp 1.260 Triliun

Kenaikan harga di pabrik bisa sekitar 20 persen, tetapi ketika sampai pada konsumen akhir kenaikannya bisa mencapai 30 persen. Misalnya harga produk per botol di pabrik Rp 3.000, ketika sampai ke konsumen menjadi Rp 5.000. Jumlah itu masih belum ditambah PPN sekitar Rp 600.

“Ketika (pajak) Rp 600 dari Rp 3.000, artinya harga akan naik sebesar 20 persen. Itu naiknya luar biasa. Kalau sampai ke konsumen akhir (naiknya) bisa sampai 30 persen lebih. Sangat mahal sekali," tambahnya.

Ia pun mengatakan, kemungkinan naiknya harga akan sangat memberatkan konsumen apalagi di tengah pasar makan-minum yang saat ini sedang lesu. "Apakah konsumen sanggup akan menanggung ini? Saya tidak yakin konsumen sanggup menanggung ini. Kondisinya yang tidak naik (harga) aja pasar agak lesu," ujarnya.

Adhi menambahkan, dalam perhitungan industri mamin termasuk pangan olahan 1 persen. Kenaikan harga akan mempengaruhi penurunan pendapatan sekitar 1,7 persen. "Jadi kenaikan harga 1 persen akan menurunkan 1,7 persen penjualan. Berarti kalau naik 20 persen penjualannya bisa turun berapa? Itu kan luar biasa," cetusnya.

Mengingat dampak dari cukai MBDK yang akan memperburuk keadaan industri mamin, Adhi mengatakan pihaknya, sebagai perwakilan dari pengusaha yang termasuk dalam pemangku kepentingan belum pernah dilibatkan dalam tahap penentuan besaran cukai tersebut. Sejauh ini ia baru mengetahui mengenai besaran angka cukai minuman berpemanis dari RAPBN saja.

Asosiasi berharap pemerintah dapat segera memberikan alasan jelas mengenai latar belakang mengeluarkan cukai MBDK ini. "Saya mau tau fungsi cukai ini apa, untuk mengatasi PTM (Penyakit Tidak Menular) atau untuk income negara, ini dua hal yang berbeda," katanya.

Selain berjibaku dengan penerapan cukai untuk produk Minuman Berpemanis Dalam Kemasan (MBDK) yang berdampak pada kenaikan harga produk, industri makanan dan minuman (Mamin) Indonesia saat ini juga dihadapkan kepada potensi cukai pangan olahan.

Potensi ini terbuka sejak Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 tentang peraturan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 17 tahun 2023 tentang Kesehatan disahkan. Adapun pemerintah berwenang menetapkan cukai terhadap pangan olahan tertentu sesuai undang-undang tersebut.

"Selain penetapan batas maksimum kandungan gula, garam, dan lemak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah Pusat dapat menetapkan pengenaan cukai terhadap pangan olahan tertentu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan," demikian isi ayat (4) Pasal 194 ayat (1) Peraturan Perundang-undangan (PP) Kesehatan, seperti dikutip, Senin (19/8).

Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Seluruh Indonesia (Gapmmi), Adhi Lukman menambahkan selain pasal 194 ayat (1), terdapat juga Bagian Kedelapan dalam PP tersebut yang terkait dengan Penanggulangan Penyakit Tidak Menular (PTM). "Kita tidak dibolehkan menggunakan bahan yang menyebabkan penyakit tidak menular. Nah, penyakit tidak menular ini kan harus didefinisikan jelas," kata Adhi.

Ia menambahkan, jika kandungan Gula-Garam-Lemak (GGL) dianggap dapat memicu penyakit tidak menular artinya gula garam lemak tidak boleh dipakai dalam industri mamin. "Jadi, kalau GGL dianggap penyebab penyakit PTM, sehingga dicukai, otomatis kita tidak boleh pakai. Kalau kita tidak boleh pakai terus cukainya buat apa?" tanyanya.

Halaman
12
Sumber: Kontan
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved