Berita Nasional
Peranan MK dan Konflik Pilkada serta Kepentingan Partai Politik
Fenomena politik saat Ini, tidak lagi dinamis tapi sudah mengarah ke politik tidak sehat
Bahwa dalam menghadapi Pilkada serentak yang akan diberlangsung pada bulan November yang akan datang, di 37 Propinsi dan 508 Kabupaten/ Kotamadya di seluruh wilayah NKRI, Mahkamah Kontitusi sangat tidak mudah untuk menyelesaikan setiap sengketa yang ada.
Hitungan matematik politik saja, dari total 37 Provinsi Daerah tingkat I dan 508 Kabupaten/ Kota dalam proses dari sejak pendaftaran, pelaksanaan, perhitungan dan hingga puncaknya penetapan serta pelantikan pejabat terpilih Kepala Daerah, tentu tidak semua pihak bisa menerima begitu saja.
Katakanlah 2/3 dari hitungan 37 Provinsi dan 508 Kabupaten/Kota terjadi sengketa dan harus diajukan di Mahkamah Kontitusi di Jakarta, bisa dibayangkan bagaimana dahsyatnya kegaduhan yang timbul, yang tentu sangat menyerupai sebuah pasar, tanpa dagangan, dengan segala hiruk pikuknya.
Biaya atau cost yang ditimbulkan, rasa emosional dan sebagainya.
Mahkamah Kontitusi dalam putusannya nomor: 97/ PUU- XI /2013 menyatakan tidak lagi berwenang untuk mengadili perselisihan hasil Pilkada karena secara limitative.
Disebutkan dalam pasal 24 C dari Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUD 1945) Mahkamah Kontitusi hanya diberikan kewenangan untuk mengadili perkara Pemilu saja dan tidak termasuk dalam Pilkada.
Namun dalam putusan itu Mahkamah Kontitusi juga menyatakan bahwa selama belum terbentuk Pengadilan khusus Pilkada, maka Mahkamah Kontitusi akan tetap mengadili perselisihan Pilkada.
Lebih lanjut pasal 157 ayat (3) Undang-Undang nomor: 10 tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang nomor: 1 tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang nomor: 1 tahun 2014 tentang pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-Undang.
Perkara perselisihan penetapan perolehan suara tahap akhir hasil pemilihan diperiksa oleh MK sampai terbentuknya badan peradilan khusus, artinya bahwa sesuai perintah Kontitusi dan Undang-Undang, memang harus dibentuk badan peradilan baru yang mengadili khusus sengketa Pilkada.
Dalam hal ini secara teknis dan desain bisa dibentuk dibawah Pengadilan Tata Usaha Negara yang dibentuk pada setiap Propinsi dan kota-kota besar di Indonesia. Dimana ruangan dan kepaniteraan serta Majelis Hakim satu naungan dalam Peradilan Tata Usaha Negara, yang khusus dipersiapkan melalui pendidikan khusus untuk menyelesaikan sengketa Pemilukada.
Sistem Pemilu
Kenyataan dimasyarakat dan melihat fenomena kondisi demokrasi saat Ini, dengan sistem Pemilu langsung, dari Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, Gubernur, Bupati dan Walikota dalam Pemilukada, menimbukan cost, biaya yang sangat besar.
Pada akhirnya kembali lagi kepada keputusan dari para elit Partai Politik untuk menentukan calon baik Calon Presiden dan Wakil Presiden maupun calon Kepala Daerah, Gubernur dan Bupati/Walikota. Rakyat pemilih hanya dimanfaatkan saat pemilihan berlangsung, setelah perhitungan suara maka kebijakan kekuasaan ada di tangan elit Partai Politik. Seluruh perundang-undangan baik dari Hukum Dasar yakni Undang-Undang Dasar 1945 maupun Undang-Undang dibawahnya, Perpu, Kepres dan sebagainya, harus mengacu kepada Dasar Negara sebagai sumber dari segala sumber hukum, filosofi serta pandangan hidup bangsa. Dengan demikian apabila dikaitkan dengan sebuah sistem dalam Ketatanegaraan maka antara Dasar Negara dalam hal ini Pancasila dengan Hukum Dasar sebagai aturan tertinggi dalam perundang-undangan kita, harus selaras, sejalan, satu tujuan, satu pandangan filosofi.
Pada dasarnya memang merupakan satu kesatuan tunggal yang tidak bisa dipisahkan. Apabila dikaitkan dengan hal tersebut dan jika kita berpedoman pada sila keempat dari Pancasila yang mengatur tentang sistem perwakilan, yang berbunyi "Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan perwakilan" maka bertentangan dan bertabrakan dengan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai hukum dasar khususnya soal sistem pemilihan Presiden (vide Pasal 6A "Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh Rakyat”).
Dimana sistem Pemilu yang mengadopsi sistem pemilihan langsung, demikian juga dalam Undang-Undang Pemilu dan Peraturan Perundangan soal tehnis pemilihan langsung, bertabrakan dengan sila ke empat yang oleh founding Father memang didesain sejak awal bahwa negara kita menganut sistem perwakilan.
CEO Tribun Network, Dahlan Dahi, Dinobatkan Jadi Tokoh Media Berpengaruh oleh MAW Talk Award |
![]() |
---|
DEMO 28 Agustus di Depan Gedung DPR Ricuh, di Bali Tuntut Stop PHK, Tolak Tunjangan Berlebih DPR! |
![]() |
---|
MK Putuskan Wamen Dilarang Rangkap Jabatan sebagai Komisaris BUMN |
![]() |
---|
MK Putuskan Wakil Menteri Dilarang Rangkap Jabatan, Inilah 32 Wamen yang Merangkap Jabatan |
![]() |
---|
Demo 25 Agustus 2025 Ricuh, Tuntutan Bubarkan DPR Memanas di Jakarta |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.