Berita Nasional

Peranan MK dan Konflik Pilkada serta Kepentingan Partai Politik

Fenomena politik saat Ini, tidak lagi dinamis tapi sudah mengarah ke politik tidak sehat

istimewa
Agus Widjajanto 

Dengan adanya sebuah lembaga yang mengambil segala keputusan soal pemilihan Presiden yang bernama Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebagai manifestasi dari perwakilan seluruh rakyat Indonesia secara musyawarah mufakat, sesuai sebuah pemerintahan desa dalam lingkup negara Nasional (Vide Mr Soepomo, Indonesia dibentuk  dalam negara Integralistik).

Seharusnya DPR berani mengambil keputusan untuk mengembalikan sistem ketatanegaraan yang telah dikoyak dalam beberapa amandemen, dengan cara melakukan amandemen terbatas menyangkut mengembalikan  kedudukan dan wewenang MPR sebagai Lembaga Tertinggi negara.

Tidak hanya mengangkat dan memberhentikan Presiden dan Wakil Presiden sebagai mandataris, akan tetapi juga membuat GBHN, untuk  arah kedepan dari Bangsa ini apa tahapan tahapan pembangunan  yang akan dilakukan sesuai rencana induk, baik jangka panjang, menengah dan pendek. Agar tidak kehilangan kompas atau arah mengembalikan kedudukan DPD kepada kedudukan urusan daerah yang mempunyai kewenangan yang jelas, bukan sebagai sekedar pelipur derita saja. 

Tapi apabila Ketua Komisi II DPR dalam mengevaluasi Mahkamah Kontitusi, ternyata menyangkut putusan MK dalam perkara Nomor: 60/PUU - XXII/ 2024, soal Partai Politik yang tidak mendapatkan kursi bisa mengajukan calon Kepala Daerah, yang mana putusan tersebut sudah berlaku final dan mengikat, dan harus diikuti seluruh peserta Pemilukada.

Sehingga tujuan dari meninjau Sistem Ketatanegaraan kita, adalah salah alamat, dimana menyangkut hal itu, penulis 

Secara terpisah meminta pendapat dari Guru Besar Hukum Tata Negara paling senior  dari Universitas Padjajaran Bandung, Prof. Dr.  I Gde Pantja Astawa SH., MH. 

Menurut Guru Besar asal Bali ini,  Ketua Komisi II DPR RI  tidak memiliki wawasan tentang perkembangan Mahmakah Kontitusi (MK) yang ada di beberapa Negara (sebagai perbandingan).

Memang pada awalnya Mahkamah Kontitusi di beberapa Negara dalam menangani dan memutus perkara JR, bertindak selaku Negative Legislation, dalam arti tidak boleh membuat norma baru, terbatas menyatakan bahwa norma pasal - pasal dalam suatu Undang-Undang bertentangan dengan konstitusi.

Namun dalam perkembangannya, Mahkamah Kontitusi ( MK ) kemudian beranjak lebih jauh, berdasarkan living law dan perannya sebagai pengawal dan penafsir tunggal konstitusi.

Dimana MK tidak lagi sebagai negative legislation, melainkan berubah menjadi Positive Legislation. Artinya, MK membuat norma baru terhadap pasal-pasal yang diuji. Contoh yang aktual adalah ketika MK  RI dalam Putusan Nomor: 60 berkenaan dengan perubahan ambang batas Parpol boleh mengusung calon Kepala Daerah, seperti PDI-P boleh mengusung sendiri Cagub dan Cawagub DKI dan Jabar. 

Prof. Pantja Astawa berpendapat bahwa DPR sebagai badan legislatif lebih sering tampil sebagai badan politik yang sarat dengan kepentingan. Manakala kepentingannya tidak terakomodir dalam putusan MK, misalnya, dengan mudah DPR merevisi Undang-Undang MK, termasuk merecall Aswanto dan diganti dengan Guntur. 

Begitu juga ketika DPR punya "skenario", kepentingan terselebung,  di masa yang akan datang", DPR dengan mudah merevisi kembali UU MK yang sampai sekarang sudah terjadi empat kali diubah. 

Dikatakan Prof. Gde Pantja Astawa, DPR dalam merespon 2 putusan (MA dan MK) terkait dengan mana yg menguntungkan kepentingan kekuasaaan untuk  meloloskan  calonnya  sebagai calon kepala daerah, maka dalam hal ini  DPR dengan mudah dan pongahnya merujuk pada putusan MA dan mengabaikan putusan MK, yang berujung pada gelombang protes secara masif, dalam demo yang dilakukan para mahasiswa beberapa waktu lalu,  walaupun akhirnya DPR mengakui putusan MK. 

Ditegaskan bahwa semua jelas menunjukkan bahwa DPR sebenarnya  bukanlah mewakili atau sebagai  wakil rakyat, melainkan mewakili kepentingan Partai itu sendiri.

Apabila para anggaota DPR yang dipilih oleh rakyat secara langsung  dan masih saja punya paradigma, wawasan yang hanya sebatas demi kepentingan Partai, bukan lagi kepentingan rakyat yang diwakili , maka bukan tidak mungkin , akan ada gelombang protes yang sangat besar, yang mengacu kepada gerakan rakyat untuk Merubah Sistem Demokrasi, yang saat ini dianggap tidak adanya sebuah  demokrasi.(*)

Penulis: Agus Widjajanto 

Praktisi Hukum, Pemerhati Sosial Budaya, dan Sejarah Bangsa

Sumber: Tribun Bali
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved