Berita Nasional
Harapan Pemerintahan Baru: Memilih Pejabat Berkomitmen dan Perbaiki Penegakan Hukum
Harapan Pemerintahan Baru: Memilih Pejabat Berkomitmen dan Perbaiki Penegakan Hukum
Hal ini hendaknya jadi perhatian Ketua Mahkamah Agung kedepan sebagai benteng terahir peradilan, untuk bisa memperbaiki diri sebagai Lembaga Peradilan yang bermahkota emas dengan putusan-putusan yang adil dan sesuai asas-asas peradilan.
Masih banyak peradilan yang sangat aneh seperti kasus Vina Cirebon, kasus kriminalisasi dalam konspirasi merampas hak seorang janda di Bali dengan latar belakang warisan dari mendiang suaminya, kasus Jesica kopi sianida, kasus Alif di Medan kasus-kasus yang berlatar belakang politis dalam konflik kekuasaan, yang tidak bisa disebut kan satu persatu, baik di pusat maupun di daerah.
Semua itu mencerminkan bahwa penegak hukum kita bisa digunakan oleh pihak-pihak tertentu untuk melakukan penindakan hukum sebagai sebuah jalan untuk bargaining position dalam kepentingan tertentu.
Dengan kondisi tersebut maka jujur harus dikatakan, Indonesia mendambakan penegakan hukum seperti saat jaman Orde Baru berkuasa. Dimana tahun 1981, mengangkat pejabat lembaga hukum yang saat itu dikenal dengan punakawan dalam tokoh pewayangan dalam penegakan hukum.
Ketika itu mengangkat Mudjono, SH., menjadi ketua Mahkamah Agung menggantikan Oemar Seno Adji yang pensiun dimana Mudjono dikenal dengan sebutan Semar. Sedangkan, Ali Said, SH., yang lama jadi Jaksa Agung diangkat jadi Menteri Kehakiman diibaratkan sebagai Petruk serta Ismail Saleh, SH., diangkat jadi Jaksa Agung yang dikenal dengan Gareng.
Padahal ketiga tokoh punakawan hukum tersebut bukan alumni dari universitas ternama yang kampiun dengan fakultas hukumnya. Bertiga alumni dari Sekolah Tinggi Hukum Militer, yang dulu dipandang sebelah mata dalam hal ilmu hukumnya. Nyatanya, mereka bisa dan mampu menunjukan nyali dan kwalitasnya sebagai nahkoda lembaga penegak hukum yang kredibilitasnya diakui terbaik hingga saat ini.
Dalam masa itu betapa rinci dan runut pertimbangan hukum, baik hakim tingkat pertama sampai Hakim Agung di Mahkamah Agung, yang bisa mencapai puluhan halaman.
Tidak heran putusan yang dianggap brilian dan mendundukkan keadilan dijadikan acuan sebagai Yurisprudensi Mahkamah Agung.
Dalam sebuah Opini di Harian Kompas, tanggal 29 Agustus 2024, seorang Guru Besar Pidana dari Universitas Padjajaran Bandung, Prof. Dr. Romly Artadasmita menulis tentang keprihatinan kondisi penegakan hukum di Indonesia yang dianggap telah melenceng jauh dari Undang-Undang kehakiman yang diberikan kekuasaan yang Merdeka, Imparsial dan Independen, yang justru kerap digunakan oleh Eksekutif untuk melakukan proses hukum terhadap tokoh-tokoh tertentu. Ada beberapa pihak dan dari pembaca yang justru mengusulkan, pejabat Yudikatif dipilih langsung oleh rakyat seperti dalam Eksekutif, pemilihan Presiden dan Wakil Presiden serta Legislatif (DPR/DPRD Propinsi dan Kabupaten/Kota Madya). Sistem baru ini diciptakan suatu sistem baru untuk mencari sosok seorang petinggi penegak hukum sebagai garda terdepan penegakan hukum di negeri ini.
Analisa dari Prof. Dr. Romly sangat bagus dan komprehensive tentang kemelut hukum yang ditandai berbagai skandal hukum.
Yang paling jelas dan tegas yaitu:
- Tanggung jawab pemegang mandat kekuasaan terhadap menjaga kepastian hukum, yaitu Presiden dan DPR.
- Kelemahan ketentuan dan pelaksanaan sanksi terhadap pelanggaran hukum oleh penguasa.
- Lembaga lembaga hukum dengan mudah di intervensi untuk kepentingan penguasa.
Pertanyaan kita selanjutnya:
- Kalau presiden (eksekutif) dan DPR (legislatif) dipilih langsung oleh rakyat, mengapa lembaga hukum (yudikatif) tidak dipilih langsung oleh rakyat?
- Apabila lembaga yudikatif dipilih oleh rakyat, siapa/lembaga yudikatif yang mana dipilih langsung oleh rakyat? Apakah Jaksa Agung seperti di Amerika Serikat ?
Menjawab pertanyaan di atas, mengapa lembaga yudikatif tidak dipilih langsung oleh rakyat (seperti halnya DPR dan Presiden dipilih langsung oleh rakyat) jawabannya:
Pertama, kendatipun tidak ada satupun negara di dunia ini menerapkan Doktrin Trias Politica (semurni ajarannya), namun paling tidak cabang kekuasaan yudikatif memang sengaja dari awal oleh para pemimpin terdahulu dibiarkan tetap steril dari intervensi cabang kekuasaan legislatif dan cabang kekuasaan eksekutif.
Ini karena dari tiga cabang kekuasaan yang ada dalam negara, hanya cabang kekuasaan yudikatiflah yg paling lemah, sementara cabang kekuasaan yudikatif diharapkan menjadi benteng terakhir untuk mengontrol dua cabang kekuasaan yakni legislatif dan eksekutif, selain untuk melindungi Hak Asasi Manusia dari tindakan ke sewenang-wenangan penguasa terhadap warga negara.
Oleh sebab itu, cabang kekuasaan yudikatif dibiarkan steril dari intervensi kekuasaan dari manapun baik dari Eksekutif maupun dari Legislatif dan dari pihak-pihak lain dalam masyarakat dalam komponen sebuah negara.
CEO Tribun Network, Dahlan Dahi, Dinobatkan Jadi Tokoh Media Berpengaruh oleh MAW Talk Award |
![]() |
---|
DEMO 28 Agustus di Depan Gedung DPR Ricuh, di Bali Tuntut Stop PHK, Tolak Tunjangan Berlebih DPR! |
![]() |
---|
MK Putuskan Wamen Dilarang Rangkap Jabatan sebagai Komisaris BUMN |
![]() |
---|
MK Putuskan Wakil Menteri Dilarang Rangkap Jabatan, Inilah 32 Wamen yang Merangkap Jabatan |
![]() |
---|
Demo 25 Agustus 2025 Ricuh, Tuntutan Bubarkan DPR Memanas di Jakarta |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.