Berita Nasional

Harapan Pemerintahan Baru: Memilih Pejabat Berkomitmen dan Perbaiki Penegakan Hukum

Harapan Pemerintahan Baru: Memilih Pejabat Berkomitmen dan Perbaiki Penegakan Hukum 

istimewa
Agus Widjajanto 

Doktrin ini yang kemudian melahirkan prinsip :"Kekuasaan Kehakiman yang merdeka, imparsial, dan independen" sebagai prinsip yang berlaku universal di semua negara (termasuk Indonesia, vide Pasal 24 UUD 1945). 

Kedua, berbeda halnya dengan cabang kekuaasaan yudikatif, cabang kekuasaan legislatif dan eksekutif adalah Jabatan Politik (Bisa diisi oleh siapapun dan dari latar belakang pendidikan, status sosial - ekonomi apapun sepanjang memenuhi persyaratan yang ditentukan dalam Undang-Undang yang terkait), sedangkan pengisian jabatan pada kekuasaan kehakiman mutlak dan harus serta wajib  berlatar belakang pendidikan hukum, yang tidak semua orang bisa mengisi ataupun memangku jabatan tersebut.

Itulah sebabnya mengapa (jabatan yang ada pada) cabang kekuasaan kehakiman tidak dipilih langsung oleh rakyat. Siapapun yang memangku jabatan di ranah cabang kekuasaan yudikatif (khususnya jabatan Ketua Mahkamah Agung  dan segenap Hakim Agungnya), semuanya kembali pada "the man behind the gun" untuk bisa tegak lurus pada hukum dan Konstitusi serta "berani" melawan intervensi kekuasaan dari manapun datangnya.

Ada tiga persoalan dalam hal ini: Satu, memang terjadi pergeseran moral dimana dengan gaya hidup dan tuntutan hidup, terjadi pergeseran orientasi hukum dimana hukum sudah menjadi komoditas bisnis.

Kedua, proses perekrutannya, harus kembali meniru dan mengadopsi cara Orde Baru, dimana Hakim Agung dalam proses penerimaan benar-benar  bersih yang ditunjuk langsung berdasarkan rekam jejak dalam putusan putusanya oleh Menteri Hukum dan HAM yang diusulkan presiden, hilangkan Fit And Proper tes oleh DPR RI di komisi III.

Dimana dengan cara meneliti  dari  putusan-putusan pengadilan dari hakim  yang dianggap bagus dalam pertimbangan hukumnya.

Mahkota hukum terletak pada putusan tersebut, dipantau dan dijadikan referensi untuk diangkat jadi Hakim Tinggi dan Hakim Agung.

Memilih hakim karier dari bawah, sehingga memupuk semangat hakim di tingkat pertama untuk membuat putusan yang brilian dan terobosan hukum demi keadilan dan juga akan menjadi barometer, penilaian untuk naik jenjang lebih tinggi menjadi Hakim Agung, yang merupakan puncak karier seorang Juris di Indonesia. 

Ketiga, naikan tunjangan dan gaji khusus di lembaga peradilan, setidaknya sebagai upaya agar tidak terkontaminasi  dengan iming-iming atau rayuan dalam bentuk materi untuk membuat putusan yang jauh dari rasa keadilan.

Sehingga mereka merasa tenang, karena tanggung jawab bukan hanya pada negara, tapi juga pada Tuhan Yang Maha Esa dan masyarakat. 

Semoga pada masa Kabinet Presiden selanjutnya bisa jadi pertimbangan, introspeksi diri dan mencontoh Pak Harto dalam mengangkat para petinggi lembaga peradilan baik Ketua MA, Jaksa Agung, Ketua MK, Ketua KPK , Ketua Ombudsman,  termasuk Menteri ATR/Kepala BPN yang bisa memberantas mafia tanah. Ini karena contoh yang paling utama adalah dari perilaku pimpinan kepada bawahan seperti gaya hidup maupun dalam memberikan suri tauladan dalam setiap putusan hukum yang memberikan rasa keadilan kepada masyarakat.(*)

Penulis: Agus Widjajanto 

Praktisi hukum, Pemerhati Sosial Budaya, Politik dan Sejarah Bangsa.

Sumber: Tribun Bali
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved